Part 3

52 15 9
                                    

Hari-hari berganti nyaris sekejap mata. Begitu cepat hingga Kemun tidak menyadarinya. Tentu ia tak sadar, karena ada hal yang mengalihkan pikirannya.

Arfa.

Tentu saja.

Chattingan dengannya sepanjang malam. Dari mulai pulang sekolah, sampai tengah malam. Bahkan di jam sekolah pun mereka masih sempat-sempatnya saling berkomunikasi.

"Dudududu seneng nih ye sang admirer dibalas oleh sang idola," kata Talita sambil menopang dagunya dan memperhatikan Kemun.

Kemun yang baru saja mengetikkan balasan untuk Arfa mengalihkan perhatiannya ke Talita dan hanya tersenyum lebar. "Lo gak tau rasanya sih." Lalu kembali lagi fokus ke handphone-nya.

"Sesuatu yang diem-diem itu bahagianya gak bertahan lama."

Kali ini Kemun benar-benar memusatkan perhatiannya pada Talita. Perkataan Talita barusan mengusik pikirannya. "Maksud lo?"

"Iya bener. Lo diem-diem suka sama dia. Diginiin doang aja, seneng. Ntar makin nimbun perasaan lagi. Belum kalo lo liat dia sama cewek lain. Nyesek diem-diem. Karena dia gak tau perasaan lo, dan akhirnya dia nganggepnya biasa aja. Nah, itu yang gue bilang sesuatu yang diem-diem itu bahagianya ga bertahan lama," jelas Talita sok pro. Kemun mengerutkan keningnya.

"Tapi untuk saat ini sih, gue belum sakit hati yak." Kemun membela dirinya, "Dan selama ini, gue bahagia-bahagia aja."

Talita menurunkan tangannya yang tadi ia pakai untuk bertopang dagu. "Belum aja, Kemun." Ia menatap serius cewek di hadapannya. "Lo bisa bilang gini karena lo belum ngerasain. Gue serius."

Melihat Talita dengan posisi serius seperti itu membuat Kemun tertawa kikuk. "Haha bisa aja lo, Tal. Kalo emang dia deket sama cewek lain, gue dukung kok."

Talita memutar matanya malas. Sepertinya kebiasaan setiap dirinya berada di samping Kemun adalah memutar kedua matanya. "Halah. Basi lo."

"Gini ya gue kasih perumpamaan." Talita berkata lagi, "Lo tau perampok bank?"

"Hmm sejauh ini gue belum pernah ketemu mereka dan gue gak berniat untuk bertemu mereka," jawab Kemun.

"Jawaban yang bagus, Kemun. Bagus sekali." Lagi, Talita memutar kedua matanya. "Seperti yang diharapkan."

Mendengarnya, Kemun hanya tertawa. "Yaudah terus maksud lo ngomongin perampok bank apa?"

"Mereka ngerampok bank dan nikmatin hasil curian mereka. Tapi mereka diburu sama polisi. Enak sih nikmatin hasilnya. Tapi bertahan lama ga?" Kemun terdiam, tidak ada niatan untuk menjawab. Otaknya berpikir kemana arah pembicaraan ini. "Apa lo bisa nikmatin hidup lo berfoya-foya dengan uang banyak kalo lo dikejar banyak orang dan terancam masuk penjara?" lanjut Talita.

Kemun menggeleng dengan pasti.

"Kita anggap pencurian itu sama kaya perasaan diem-diem lo ke dia. Bahagianya sesaat. Tapi pasti ada perasaan khawatir dan sakit yang memenuhi hati lo suatu saat nanti. Dan lo ga bisa cegah dan gak punya hak buat cegah itu. Karena dari awal." Talita berhenti sejenak. "Lo nyimpen perasaan ke dia secara diam-diam."

Guru IPA masuk ke kelas mereka dan terpaksa pembicaraan harus dihentikan. "Cepat atau lambat lo bakal ngerasain hal itu, Mun," kata Talita lagi.

"Ngerasain apa?" tanya Kemun. Sepertinya perumpamaan dari Talita tadi tidak membuat otaknya kunjung berpikir.

"Buka buku paket kalian halaman 119 dan baca bab itu. Saya beri waktu sepuluh menit sebelum saya tanya satu-satu," perintah guru tersebut.

Dengan begitu, percakapan mereka benar-benar harus berhenti dan semua murid berkonsentrasi untuk membaca materi IPA.

WordlessWhere stories live. Discover now