The Antagonist

4.8K 94 9
                                    

Prolog

           Dia duduk di sudut ruangan, diam... sepi... tidak. Dia tidak merasa sepi. Dia hanya menikmati kesendiriannya. Senyap. Hanya suara dentingan piano memilukan. Tidak memilukan. Karena dia memainkannya dengan senyum mengembang. Tuts piano itu tidak lagi berwarna putih. Bercak-bercak merah berasal dari jari-jarinya membuat keindahan tersendiri pada piano itu. Remang, hanya sebuah lilin di atas piano itu. Menyinari wajah cantiknya yang sedang tersenyum menikmati permainan pianonya. Hitam, outih, merah, kuning cahaya lilin memenuhi ruangan dengan kaca-kaca besar itu. Sesekali ada kilatan pantulan cahaya dari benda-benda warna perak di sekelilingnya. Hanya 1 benda yang memantulkan cahaya berbeda. Cahaya samar tapi menegaskan bahwa benda itu ada. Ya. sebilah pedang panjang yang menancap di leher sebuah tubuh tak berdaya. Cahaya lilin pun memantulkan kilatan-kilatan warna merah disekelilingnya. Indah. Sungguh indah. Dan dia memainkan piano sambil menatap seonggok mayat dengan penuh senyuman.

             Dia berdiri di tengah ruangan, diam... sepi... tidak. Dia tidak merasa Sepi. Dia hanya mengamati setiap orang yang sedang berpesta pora. Dia tersenyum dan sesekali berbincang mengikuti arus obrolan para dewan terhormat. Senyumannya membuat kecantikannya semakin tersirat. Seseorang dengan pangkat tertinggi mengajaknya untuk berdansa. Mereka menari dengan anggun hingga membuat semua orang terpana. Sang jendral dengan bahagianya pun berucap dengan ketulusan cintanya akan memberikan semua yang dimiliki kepada dia. Dia pun tersenyum kembali. Senyuman yang membuat semua orang terpana. Tak lupa tatapan matanya mengisyaratkan dia punya sejuta pengetahuan. Seketika cahaya meredup tanda pergantian acara. Dibalik redupnya cahaya, dia tetap tersenyum, senyum penuh sejuta makna. Sang jendral pun bahagia tanpa menyadari bahwa dia telah masuk dalam perangkapnya.

             Dia berjalan di atas panggung, diam... sepi... tidak. Dia tidak merasa sepi. Dia hanya menikmati dirinya menjadi pusat perhatian. Kini bukan lagi dia yang mengikuti alunan musik, melainkan musik yang takluk pada pesonanya yang anggun dan cantik. Ya, inilah dia. Dengan penuh senyuman dia berhasil membuat semua wanita iri kepadanya. Cahaya terang ruangan itu tak mampu mengalahkan cahaya auranya yang terpancar. Hingga dia menuruni tangga dan menatap lekat pada seorang pemuda. Pemuda itu memandangnya takjub seolah terkena hipnotisnya. Dan para wanita pun kembali menatap iri padanya. Kemudian dia pun tersenyum penuh arti pada seorang gadis. Tanpa pemuda dan gadis itu ketahui, dia telah tersenyum bahagia dan berjalan kembali menuju panggung.

The AntagonistWhere stories live. Discover now