39. Pesan

2.1K 143 10
                                    

Sambil menunggu kereta, Aditya membuka sambungan internet di ponselnya. Sudah sepekan terakhir dia tidak membuka internet dari ponselnya. Dan ia dikejutkan oleh banyak pesan yang masuk. Ponselnya jadi ramai. Ada pesan dari Asma, Bagas, dan beberapa teman lamanya. Ia juga lihat beberapa dari Khairul.

Asma: Mas Adit,apa kabar? Asma kangen mas

Asma: Mas Adit, kangen

Asma: Mas lagi apa?

Bagas: Mas, gimana keadaannya? Mas sehat? Bapak ibu khawatir mas gak hubungi rumah.

Bagas: Mas ibu kangen.

Asma: Mas Adit, mas dimana? Jangan bikin Asma khawatir donk.

Asma: Mas maunya apa sih? Sekarang kok suka menghilang?

Dan masih banyak lagi pesan yang belum dia baca. Tapi ada satu pesan dari Khairul yang membuatnya panas.

Khairul: Dit, loe sayang gak sih sama cewek loe? Hubungi dia sebentar! Tiap hari dia curhat mulu tentang loe. Eneg gue dengernya. Kalo loe terus begini, jangan salahin gue kalo gue bs nikung Asma dari loe.

Ingin sekali Aditya membanting ponsel ke lantai. Dia lebih suka Asma menangis di pundak Raka ketimbang di pundak Khairul.

Gak rela, gak ikhlas, gak ridho, Ia merutuk dalam hati.

Wajahnya kini nampak sangat kesal. Ia baru saja hendak mengetik balasan untuk Khairul. Tetapi tak jadi dilakukan karena kereta yang ia tunggu sudah datang.

Di kantor Aditya disambut oleh Takamura. Salah satu atasannya. Pria tua ini begitu tegas tapi juga ramah.

"Selamat pagi, Tuan Senja. Aku bersyukur kau sudah datang," katanya.

"Selamat pagi, Tuan Takamura. Ada apa?"

Takamura segera membuka gulungan yang dia bawa. Gambar sebuah mesin. Mesin yang besar. Tingginya tiga meter, lebar dua meter, dengan panjang lima belas meter.

"Mesin ini akan dibawa ke Indonesia. Ini teknologi baru. Anda harus mempelajarinya karena mesin ini akan ditempatkan di dua pabrik kita di Indonesia."

Raut wajah Aditya berubah menjadi senang. Mesin? Tantangan baginya. Ia sudah membayangkan betapa kerennya kalau mesin itu bisa masuk ke pabriknya yang dulu.

"Tapi, apakah perempuan atau laki-laki yang akan mengoperasikan mesin ini?"

"Prioritas laki-laki. Kecuali tak ada laki-laki yang bisa, mesin ini lumayan aman dipakai perempuan."

"Oh ok."

"Nanti aku berikan kau buku mengenai mesin itu." Takamura segera menggulung gambar itu.

"Jadi nanti aku pindah ke pabrik? Bukan di kantor lagi?"

"Tentu saja."

"Yes!" Aditya terlihat senang.

"Kenapa?"

"Aku tak suka di kantor," bisik Aditya yang membuat Takamura terkekeh.

"Baiklah. Kau boleh bahagia sekarang."

Takamura berlalu darinya. Aditya girang bukan kepalang. Akhirnya dia bisa bebas dari kantor yang menjemukan. Kemudian Takamura datang lagi ke meja Aditya sambil membawa setumpuk dokumen.

"Oh iya. Maafkan aku. Tapi hari ini kau harus mengerjakan ini dulu." Takamura nyengir, seluruh bibirnya tertarik maksimal. "Ini yang terakhir."

Aditya tersenyum getir. Kemudian semangatnya terkumpul lagi. "Hari ini akan ku kerjakan dengan baik."

AdityaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang