[12] Sadar Diri (Dru POV)

21.4K 2.1K 420
                                    

Kyyyaaa! Kemarin aku harus menginap di rumah Rafa, bertemu kedua orangtuanya, bertemu Rasya dan Ilana, ditambah satu keponakannya yang masih kecil. Keluarga Rafa baik sih, banget malah. Hanya saja, aku masih tidak percaya kalau kemarin aku benar-benar berbaur dengan mereka. Yah, semoga saja tindakanku kemarin tidak ada yang membuat salah satu diantara mereka jadi ilfeel. Semoga, semoga!

Pertama, menyenangkan bisa kenal dengan Ilana. Kedua, Rasya tidak sesombong yang aku lihat. Ketiga, Tante Dera itu buuaaiiikkkk bangettt. Keempat, Om Dirmaga ternyata orang yang ramah. Kelima, Alka luccuuu. Seandainya berinteraksi dengan orang lain bisa semudah ini.

Hanya saja, setelah kejadian malam itu di ruang tamu, ketika aku secara tidak sadar melontarkan kata-kata 'itu' ke Rafa, aku jadi lebih pendiam. Rafa juga tidak banyak bicara. Kami jalan dalam diam, naik kereta tanpa bicara, dan pergi tanpa sepatah kata lagi. Aku balik ke rumahku, Rafa balik ke kontrakannya. 

Hari berganti, sekarang memasuki Senin pagi yang sibuk. Aku memutuskan untuk berangkat lebih awal agar tidak berangkat bareng Rafa. Aku malas ketemu dia. 

Sialnya, sampai di stasiun, aku malah menemukan sosok tinggi berseragam SMA bersandar pada tiang peron. Bersidekap menatapku sambil tersenyum manis. Mau kabur, udah ketahuan duluan, yaudah, mau gak mau aku menghampirinya. 

Terpaksa.

"Gue tau lo bakal berangkat lebih pagi," katanya ketika aku berdiri di sampingnya. Aku hanya diam, malas menanggapi perkataannya. Karena aku pasti gugup. Argh!

"Lo bawain gue bekal apaan, Ca?" tanyanya lagi. Dalam hati, aku merutuk, aku lupa membawa bekal! 

"Gue lupa..." jawabku senormal mungkin. 

"Oh yaudah." Rafa mengangkat bahunya cuek. 

Percakapan selesai sampai kereta kami muncul tak lama kemudian. 

***

Jika banyak orang berkata lebih suka di sekolah daripada di rumah, aku bukan salah satunya. Aku lebih suka di rumah. Sekolah hanya untuk formalitas, menurutku. Aku bukan siswa pintar, bukan anggota ekskul apalagi OSIS. Kehidupanku hanya sebatas sekolah-rumah sekolah-rumah. Tidak lebih dari itu. Dalam bergaul pun, aku tidak banyak mengenal dan dikenal orang. Semua karena aku benci jadi pusat perhatian, aku lebih suka meniadakan keberadaan daripada berlomba-lomba jadi yang paling ingin dilihat. 

Kalau ibuku masih ada, mungkin beda cerita. Sayangnya, beliau telah lama meninggalkanku. Yang jadi prioritas utamaku sekarang hanya Bapak. Aku mau cepat-cepat lulus, cari kerja, bisa merawat Bapak di rumah. Monoton ya hidupku? Nggak ada yang spesial, kan? Ya begitulah. 

Mungkin kedatangan Rafa telah mengacaukan ketenangan hidupku. Sifatnya yang pemaksa benar-benar nyusahin. Tapi, yang bodoh ya aku, mau aja nurutin dia. Gak tahu jurus pemikat apa yang Rafa tempelkan padaku, aku menurut saja. Oh bukan, itu aku lakukan karena malas berdebat dengan Rafa. Dia tuh nekat kalau gak diturutin. 

"Dru Padi!" Gelegar suara Pak Arif menyadarkanku dari lamunan. Seketika aku tergagap. Aish! Semua menatapku pula!

"I--iya, Pak?" Gelagapan aku jadinya. 

"Kamu ini bukannya memerhatikan pelajaran malah bengong. Mikirin hutang, kamu?" Pertanyaan Pak Arif berhasil membuat seisi kelas menyemburkan tawanya. Apalagi Ema yang terkikik di sampingku. Awas aja nih anak!

"Ma--maaf, Pak!" kataku pada akhirnya. Ema masih menertawakanku. "Awas lo!" bisikku mengancam pada Ema. 

"Sudah, sudah. Perhatikan papan tulis sini." Pak Arif melerai kelas yang ribut. 

Semua tenang kembali. 

Beberapa menit ketenangan menyelimuti keadaan sekitar, tiba-tiba suara gaduh dari lapangan membuat pecah kedamaian kelas. Bahkan, banyak anak kelas lain yang juga sedang belajar malah menyempatkan diri untuk melihat sumber keributan di bawah. 

Return Fall [1] : R and DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang