[9] Yang Tak Menentu

19.7K 2K 256
                                    

Angin berembus lembut, menjatuhkan daun, menerbangkan debu, mendayunkan harapan baru. Mentari mulai naik bersamaan dengan kesibukan para manusia yang memadat. Seperti Dru dan Rafa yang sudah ada di stasiun tepat waktu. Rafa tumben tidak kesiangan, mereka bisa berangkat lebih pagi tidak perlu khawatir telat. Tapi sampai di dalam gerbong kereta, Rafa melanjutkan tidur.

Dasar pelor, batin Dru. Pelor artinya nempel molor. Baru duduk, Rafa sudah tidur lagi. 

Sudah jadi rutinitas bagi Dru berangkat bareng Rafa, tapi tidak pulang bersama. Tidak lupa uang saku lebih kalau dipalak Rafa, dan ekstra bekal untuk Rafa. 

Karena Rafa yang tidur, Dru tidak punya teman ngobrol. Jadinya, dia hanya diam sepanjang perjalanan. Sampai di stasiun tujuan, Dru membangunkan Rafa. Mereka turun bersama. Berjalan beriringan menuju sekolah. 

"Lu bawain gue apaa, Ca?" tanya Rafa sambil membetulkan posisi tasnya. 

"Tadi gue gak masak, jadi gue bawain aja nasi uduknya Ce Ntin."

"Yaelah, mana enak bukan masakan lo."

"Lo tuh udah gue bawain harusnya bersyukur. Gak usah protes." Rasanya, tangan Dru gatal mau ngejitak Rafa. 

"Oh ya, uang gue habis, Ca. Gue belum bayar uang kas awal futsal. Ya, sebenarnya sih ntar juga bisa... Gue gak minta sih. Tapi ya sebagai tetangga yang baik, lo harusnya peka..." Rafa mulai basa basi kode-kode. Dia melirik-lirik ke Dru.

"Iya bawel-bawel. Gak usah mupeng! Tar gue kasih." Paling kesal kalau lihat ekspresi wajahnya Rafa saat minta duit. 

Rafa terkikik. "Hanya kau yang paling mengerti, Ca." Satu mata Rafa mengerling genit.

***

Gedung sekolah dipenuhi sorak sorai siswa ketika SMA lain menginjakkan kakinya di 'istana' mereka. Sang tuan rumah sudah mempersiapkan segalanya. Tim futsal, voli, dan basket berbaris di lapangan. Walaupun hanya latihan bersama, tapi antusiasme siswa begitu tinggi. 

Rafa melirik ke Zee ketika mereka berada dalam satu barisan. Sama-sama menyambut kedatangan tim lawan. Zee menengok ke Rafa, lalu tersenyum lebar ke cowo itu. Rafa hanya tersenyum tipis lalu mengangkat kedua alisnya. 

Masing-masing pelatih bersalaman, setelah itu mereka sama-sama ke lapangan sesuai olahraganya. Latihan dimulai setelah salat Ashar. Seluruh anggota tim bersiap-siap melakukan pemanasan. Terik matahari jam tiga sore tidak menyulutkan semangat latihan mereka. 

Dan seorang Dru yang biasanya sudah ada di stasiun, kebelet pulang, terpaksa menunggu Rafa sampai selesai latihan. Tadi Rafa bilang, "Harusnya sih lo nungguin gue latihan. Semangatin gue. Daripada lo nganggur di rumah, ya kan? Mending jadi supporter gue, gabung sama fans-fans gue yang bakal teriak-teriak di pinggir lapangan." Dengernya tuh kayak pengen nonjok gitu. 

Kalau dipikir-pikir lagi, gak ada salahnya. Toh, Dru sudah izin sama Bapak dan diperbolehkan. Untung pertama kalinya, Dru akan berlama-lama di sekolah. Tuh, ada aja alasan Dru menyetujui pemaksaan dari Rafa. 

Keluar dari toilet dan turun tangga menuju lapangan, Dru lagi-lagi menabrak tubuh seseorang. Karena kepalanya nunduk ke bawah. Sebab yang sama. 

"Auh! Maaaf kak, maaf!" Dru segera membungkukkan badannya sebelum si yang ditabrak marah-marah. Mau adik kelas, seumuran, kakak kelas, tetap aja dipanggil 'Kak' kalau dia lagi panik.

"Hahaha. Santai aja kali. Tegak lagi dong, jangan formal gitu." Suara seorang cowok membuat Dru menengakkan badannya lagi. Dia belum pernah melihat cowok yang berjersey salah satu klub bola ternama dunia, atau Dru yang memang kuper. 

Return Fall [1] : R and DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang