Sebuah Fakta Tentang Ferry

Mulai dari awal
                                    

"Rumah ini terlihat menyeramkan bukan?" Nadien bergidik takut dan menghela nafasnya. Bulu kuduknya meremang saat dia mendengar suara-suara burung hantu yang kebetulan berada tak jauh dari mereka berdua.

"Ah. Aku benar-benar membenci tempat ini," ujar Nadien. Sebuah angin kecil mengelus perlahan leher putih Nadien, membuat gadis itu mendesis pelan sambil memejamkan mata, menikmati elusan dari angin tersebut. "Lihat! Bahkan anginnya sangat nakal kepada wanita cantik seperti diriku," sambung Nadien.

Maudy menghentikan langkahnya dan membuat Nadien bingung. "Ada apa? Kenapa berhenti?" tanya Nadien.

Maudy berbalik dan menatap tajam mata Nadien, dia terlalu muak mendengar kata-kata Nadien barusan. "Kau bisa diam? Kita ke mari untuk menyelidiki sesuatu tentang Ferry, bukannya membicarakan angin-angin nakal yang mengelus lehermu sejak tadi!" katanya. Nadien tertawa geli.

"Dasar! Bukannya berpikir, malah tertawa!" ujar Maudy. Gadis itu menggeram marah.

"Hey! Apa yang kalian lakukan disana? Cepat keluar!" Suara berat itu berteriak keras hingga Maudy dan Nadien harus menutupi telinganya. Mereka berdua menoleh geram dan terkejut ketika tahu darimana asal suara tersebut.

"Ervan?!"

***

"Ini rumahmu?" tanya Maudy setengah tidak percaya terhadap apa yang tengah dilihatnya. Di depan pandangannya, ada sebuah rumah besar bertingkat 2, dengan beberapa air mancur dan taman bunga yang ada di depannya. Belum lagi sebuah ayunan dengan ukiran bergambar bunga. Sungguh benar-benar menjadi rumah yang mewah.

"Kau kerja apa sampai mendapatkan rumah seindah ini?" tanya Nadien saat mereka mulai memasuki ruang tamu rumah itu.

"Yang penting aku bukan pengedar narkoba ya," jawab Ervan sambil tersenyum genit ke arah Nadien, dan mendapat pelototan tajam dari gadis yang memakai baju berwarna merah itu. "Kalian ingin minum apa?"

"Air putih saja," jawab Maudy. Nadien ikut menyetujui. Ervan pun pergi ke belakang untuk mengambil air minum.

"Kudengar kau menikah dengan Tania satu setengah bulan yang lalu? Coba ceritakan padaku bagaimana sampai kalian memutuskan untuk menikah? Padahal setahuku, kau dan Tania merupakan musuh bebuyutan sejak SMA," ujar Maudy. Ervan tersenyum.

"Aku bertemu kembali dengannya saat orang tua kami berusaha untuk menjodohkan aku dengannya. Awalnya aku menolaknya—walaupun Tania tidak pernah menolak perjodohan itu—tetapi entah kenapa, lambat laun aku juga mulai menyukainya, dan kami memutuskan untuk memulainya dari awal," jelas Ervan.

Maudy tercengang mendengar cerita Ervan. Sedangkan Nadien? Dia sedang memperhatikan perbedaan volume air gelas Maudy dan gelasnya sendiri. Entah kenapa dia merasa kalau air Maudy lebih banyak dari punyanya. Gadis yang konyol, bukan?

"Dulu kau begitu labil, Ervan. Aku benar-benar tidak menyangkal fakta tersebut," ujar Maudy. "Di mana Tania? Sudah lama aku tak bertemu dengannya," lanjutnya.

Ervan mendehem sebentar.

"Dia sedang berada di rumah orang tuanya, bersama kedua anak kami," jawab Ervan. Maudy menatap Ervan dengan takjub.

"Aku berharap aku mempunyai anak juga sepertimu," harap Maudy.

"Ngomong-ngomong, tadi kalian sedang apa di dalam rumah kosong itu?" tanya Ervan.

"Menurut yang kudengar, itu rumah lama Ferry sebelum dia pindah ke kota bagian lain kan?" tanya Maudy. Ervan mengangguk kecilm

"Kalian tahu Ferry darimana? Aku rasa Ferry tidak ada hubungannya dengan kedua detektif kecil seperti kalian."

"Kau salah, Ervan," timpal Nadien. "Ferry telah membunuh seorang kepala sekolah pada tahun 1990. Parahnya lagi, kini dia kembali dan mulai beraksi. Aku dan Maudy merupakan korban dari penculikkan Ferry, kau tahu itu kan, Ervan?" Nadien menaikkan satu alisnya lalu meminum air minumnya.

Maudy mengangguk setuju. "Dia berhasil melumpuhkan kami di sekolah tersebut berkat bantuan Keyna. Oh aku sungguh tak menyangka kalau dia akan sepintar itu," kata Maudy.

"Jadi itu alasannya kau datang ke rumah kosong itu?" tanya Ervan.

"Ya, dan ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Apa yang dilakukan Ferry selama dia tinggal di sini? Bagaimana pekerjaannya dan kabar kedua istri dan anak-anaknya?"

Ervan menggeleng heran. "Aku yakin banyak lelaki-lelaki malas di luar sana sama seperti Ferry. Tahun 1995, dia pindah ke rumah itu. Kulihat kerjanya hanya nongkrong di kursi depan rumahnya sambil menikmati secangkir kopi. Kadang-kadang aku mendengar ia memanggil istrinya dengan suara yang keras," jawab Ervan.

"Lalu pada suatu malam, Ferry datang ke rumahku. Dia bilang kalau dia akan pergi keluar kota, dan dia memintaku untuk menjaga kedua istrinya untuk sementara."

"Lalu? Kau menerima permintaannya?" tanya Nadien. Ervan menggeleng tegas.

"Kami pengantin baru, mana bisa pengantin baru harus menjaga dua orang perempuan?" ujar Ervan. Matanya mengerling nakal ke arah Nadien. Anehnya, Nadien hanya tersipu malu dan tersenyum genit.

"Aku ingin sekali membunuh kalian berdua!" geram Maudy.

"Haha bunuh saja. Aku tak takut."

***
BERSAMBUNG

Misteri SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang