Perasaan Yang Tak Dapat Diungkapkan

9.2K 389 3
                                    

BAB 4 - PERASAAN YANG TAK DAPAT DIUNGKAPKAN

Anwar keluar dari mobil Boy saat mereka sudah sampai di depan apartemen tempat tinggal Anwar. Pemuda itu menatap Boy terlebih dulu sebelum dia keluar dari mobil.

"Jumpa lagi besok. Aku harap kau sudah tidak memikirkan kedua gadis itu," kata Boy dan pergi begitu saja.

Anwar tersenyum tipis, berbalik arah menuju pintu masuk. Sebelum dia berhasil mencapai pintu masuk, sebuah surat—yang entah datang darimana—mendarat lancar tepat di depan kaki Anwar.

Pria berusia 38 tahun itu menghentikan langkah kakinya. Dia mengambil surat tersebut dan membacanya keras-keras.

"Aku sudah mendapatkan kedua anak buahmu. Datang dan serahkan dirimu di SMAN 16 besok, atau kau akan melihat mayat kedua gadis ini di TV besok siang."

Anwar tertawa keras. Dia merasa kalau surat ini salah alamat. "Kau bodoh! Kedua gadis itu sebenarnya sudah pulang ke rumah," gumam Anwar yang kembali melanjutkan aktivitas tertawanya.

Dari kejauhan, seorang perempuan berumur kurang-lebih 38 tahun menatap Anwar dengan pandangan yang tidak menentu. Perempuan itu ..., seperti seorang perempuan yang pernah dijumpai Nadien di sekolah tadi siang.

"Kau belum tahu saja, Anwar. Sudah kubilang berkali-kali, jangan pernah mempercayai seseorang kalau kau tidak ingin terperosok ke jurang yang lebih dalam."

***

Berita itu menyebar sangat cepat sekali, bahkan kurang dari satu jam, sudah beratus-ratus orang tahu tentang berita ini.

Anwar dan Boy sedang berada di kantor polisi, melaporkan dua orang perempuan yang hilang disekolah tersebut, Nadien dan Maudy. Tentu saja mereka berdua yang menghilang, memangnya siapa lagi kalau bukan mereka?

"Sebenarnya saudara siapanya dua gadis ini?" tanya seorang polisi bernama Irawan. Dia amat kesal lantaran Anwar yang selalu mengocehkan kalimat, tolong temukan mereka secepatnya, seperti kaset yang sudah rusak saja.

"Saya atasan mereka! Mereka berdua adalah anggota detektif di XXX," jawab Anwar. Wajahnya semakin pucat ketika melihat kerutan heran di dahi Irawan.

"Kau jangan berpura-pura bodoh, tentu kau mengetahuinya," geram Boy.

"Haha oke oke ..., baiklah kalian terlalu cemas soal ini," ujar Irawan.

"Bagaimana tidak—" ucapan Anwar terpotong.

"Apa?"

"Ah lupakan!"

"Baiklah. Mengenai berita ini, kami akan segera mencariny," ujar Irawan.

"Secepatnya! Jangan pakai segera," timpal Anwar ketus.

"Baik-baik! Kau seperti wanita yang sedang datang bulan saja."

Mungkin Irawan akan pulang ke rumah dengan wajah membiru jika saja dia tidak segera melarikan diri dari hadapan Anwar.

"Awas kau!"

***

"Apa katanya tadi di kantor polisi?" Boy menoleh kearah perempuan berusia 24 tahun tersebut. Angela, desis Boy pelan.

Perempuan yang bernama Angela itu tersenyum manis sambil menghidangkan makan siang di atas meja makan. Hmm ..., aromanya sangat menggoda indra penciuman Boy untuk saat ini.

"Sejak kapan kau ada di apartemenku? Apa Mama sedang jalan-jalan di swalayan sehingga kau punya waktu luang?" Boy duduk di salah satu kursi meja makan, siap menyantap masakan buatan Angela.

"Memangnya tidak boleh jika aku mengunjungi apartemen suamiku?" jawab Angela sambil terkekeh.

"Hmm ..., entah kenapa akhir-akhir ini ibumu lebih sering ke swalayan daripada mengunjungi menantunya," kata Boy sambil memakan makanannya.

"Mungkin beliau senang karena akan mendapatkan seorang cucu,"ujar Angela. Boy terkekeh.

"Boy, kau belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Pertanyaan yang mana?" tanya Boy.

"Apa kata Anwar di kantor polisi tadi? Bisa kau ceritakan padaku?" Angela duduk di hadapan Boy. Pria berusia 29 tahun itu kembali menyantap makan siangnya.

"Anwar terlalu berlebihan di kantor polisi tadi. Aku takut—" ucapan Boy terpotong membuat Angela bingung.

"Takut kenapa?" tanya Angela.

Boy menghela napasnya. Dia memandangi wajah Angela dengan tatapan silih berganti. "Aku takut pada kenyataan kalau Anwar mulai menyayangi seorang di antara dua gadis itu."

***
BERSAMBUNG

Misteri SekolahWhere stories live. Discover now