Four

10.8K 481 7
                                    

Sophia menatap gue cemas, "Lucien emang begitu,"

Gue menghampiri Sophia. Berjalan sambil menunduk. Oh Sam, mana harga diri lo?

"Lo gak usah mikirin harga diri. Lucien emang nyebelin!" kata Sophia saat gue udah ada di dekatnya.

Gue melotot, "Are you kidding me?"

Sophia mengulum senyumnya, "Psst, cuma lo yang tau,"

Tuh kan bener, Sophia bisa baca pikiran orang.

Gue dan anak-anak lain diem. Menunggu makhluk yang bernama Lucien itu memulai ultimatumnya. Jujur, gue bukan seperti ada di ekskul tata boga, tapi seperti di tempat latian militer.

Lucien berdehem, membuat kami kompak melihat ke arahnya. "So, kita akan mulai praktek minggu depan. Persiapkan dengan matang apa yang akan kalian masak. Dan yang terpenting, cooking with your heart," kata Lucien. Sok cool. Walaupun dia emang (sangat-sangat) cool. "Oke, kalian bisa bubar sekarang," lanjutnya.

Udah? Cuma gitu doang? Yaelah.

"He, toi! (hei, kamu!)" panggil Lucien saat gue masih ada di dalem ruang tata boga sama Sophia dan beberapa anak lain.

Entah kenapa tiba-tiba gue merasa kalo Lucien manggil gue. Gue menoleh ke arahnya. Tatapan kami terkunci lagi. Lucien menghampiri gue yang masih mematung tanpa mengalihkan tatapannya dari mata gue. Uh. Gue deg-degan lagi.

Lucien tepat berada kurang lebih dua meter di depan gue sekarang. Ekspresi wajahnya dingin dan masih menatap gue. Gue juga berusaha untuk terus menatapnya. Karena kalo enggak, makhluk ini bakalan ngira kalo gue takut sama dia.  Walaupun sebenernya gue emang takut.

"Jangan pernah terlambat lagi, Sugar," ucapnya lalu pergi dari hadapan gue.

Gue masih mematung. Oke, gue berusaha gak akan terlambat lagi. Tapi dari mana dia tau kalo nama gue Sugar? Selama ini temen-temen gue manggil gue Sam. Gak ada yang pernah manggil gue dengan nama depan gue. Kecuali, Ayah, Bunda dan Oma kadang-kadang.

Mungkin cuma kebetulan. Karena nama depan gue emang Sugar dan dia gak kenal sama gue. Jadi, dia manggil gue Sugar. Mungkin.

--------------------------------

Gue sampai di Charm de Mars. Hampir seminggu lebih gue ada di Paris tapi sama sekali gak ke Eiffel. Kali aja Eiffelnya kangen sama gue (ya kali).

Gue gak berniat untuk naik ke atas menara. Selain antrinya panjang banget, gue lebih suka duduk di rumput di depan Eiffel. Duduk disini sambil ngeliat menara Eiffel yang menjulang tinggi sampe ke awan.

Gue pernah di atas sana. Ngantri berjam-jam cuma untuk melihat Paris dari atas. Waktu itu ulang taun gue yang ke 15. Hampir setaun lalu. Sama Ayah dan Bunda. Gue gak nyangka bakal secepat ini. Di tinggal dua orang tua sekaligus dengan posisi gue sebagai anak tunggal. Walaupun gue punya tante, oma dan sahabat yang pasti selalu ada buat gue, tapi tetep aja gue merasa kosong.

"Lo bakal kena denda kalo duduk disini sambil nangis," ucap seseorang yang berdiri di depan gue.

Gue yang lagi duduk langsung mendongak. Gue menyipitkan mata. Wajahnya agak gelap karna cahaya matahari tepat diatasnya.

Kayanya gue kenal suaranya. Suara cowok. Tapi gue kan gak punya temen cowok di Paris. Siapa ya?

God! He is Lucien.

Lucien berlutut dengan satu lututnya di depan gue. Menatap mata gue. Gue langsung beku.

Kenapa ada orang yang punya mata seperti itu? Gue curiga, kayanya Lucien masih satu garis keturunan sama vampir. Tatapan matanya dingin. Seringainya sama sekali gak merubah tatapan dinginnya.

Sugar Like SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang