Bab 3

33.5K 665 5
                                    

BAB 3 

Baru saja ia memasuki kamar Alexis ketika pembantu di rumah ayahnya datang dengan tergopoh-gopoh. Tanpa bertanya, Vero sudah paham, keadaan Alexis bertambah buruk. Namun ia tidak menyangka bahwa kabar yang disampaikan adalah kepergian adiknya. 

Seketika lututnya menjadi lemas, pembantunya kemudian menuntunnya duduk di tempat tidur Alexis.  

Vero meraba seprai biru muda itu, mengambil fotonya dan Alexis yang sedang tertawa di dalam bingkai yang terletak di meja samping. Foto itu diambil 6 bulan yang lalu, ketika Alexis mengunjunginya.  

Meski sebenarnya dokter melarangnya pergi sejauh itu, tapi ia bersikeras. Ketika itu juga Vero mulai mendengar cerita mengenai laki-laki itu. Tangan Vero meremas seprai itu untuk menyalurkan ketegangannya. Air mata menetes, melewati pipi hingga dagunya sebelum jatuh ke bajunya.  

Satu tahun yang lalu ia kehilangan ibunya, dan kini ia harus kehilangan adiknya. Ia merasakan sakit di dadanya ketika ia memprotes Tuhan. Entah sejak kapan ia berbaring, ia tak ingat. Pembantunya yang merasa kasihan rupanya membaringkannya. Hingga ia terlelap dan bermimpi, bertemu ibunya dan adiknya yang terlihat bahagia.  

***

Pemakaman telah dilakukan, para pelayat mulai meninggalkan makam. Hanya ada 3 orang yang masih tersisa di sana. Vero berdiri di tengah, diapit dua lelaki tinggi di sampingnya, ayahnya dan Darius.  

Vero baru menyadari sosok Darius ketika semua mata memandang ke arah laki-laki itu ketika ia masuk ke dalam acara pemakaman tadi. Meski Alexis sering bercerita, ia belum pernah sekalipun melihat seperti apa rupa lelaki yang membuat Alexis tergila-gila. Dan memang benar, laki-laki itu luar biasa tampan.  

Ia memancarkan aura maskulin dan aura mengintimidasi, membuatnya nampak disegani. Ia tampak melewati barisan pelayat lainnya yang jelas-jelas merupakan rekan-rekan bisnis ayah Vero, seperti dirinya. Tapi sepertinya ia tak peduli hal itu.  

Ia terlihat menyimak prosesi pemakaman itu dengan serius. Tak ada yang tahu apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu, ditambah lagi kaca mata hitam yang dipakainya. Menghalangi pandangan orang untuk menilainya dari sorot mata. 

Vero pun baru menyadari bahwa ia laki-laki yang sama yang ia  

tabrak di lorong rumah sakit. Dunia memang sempit, pikir Vero getir.  

Lama ketiganya terdiam, berdiri tanpa bersuara. Alex kemudian lebih dulu meninggalkan tempat itu. Ia tahu, Vero masih belum dapat ia jangkau karena itu ia tak memaksa putrinya pulang bersamanya.  

"Hubungi papa ketika kau ingin pulang" 

Hening, tapi kali ini Vero menganggukkan kepalanya. 

"Menyedihkan bukan, ia sedang dalam masa paling bahagia dalam hidupnya. Dan sekarang ia tak ada lagi di sini bersama kita" suara Vero memecah kesunyian. 

"Apa kau tahu siapa aku?,, Aku tahu siapa kau,,lelaki yang dicintai Alexis, oh lebih tepatnya, sangat dicintainya" 

Darius tak bereaksi, hanya menyimak kata demi kata yang dikeluarkan gadis itu. Ia melipat tangannya di dada, mengamati sampai sejauh mana pembicaraan ini. Ia merasa sudah bertanggung jawab dengan mendatangi rumah sakit kemarin, tapi jika ternyata Alexis meninggal maka itu jalan yang Tuhan atur untuknya, bukan keinginan Darius. 

"Kau....apa yang kau lakukan padanya!" Tiba-tiba Vero berteriak histeris, ia memukul-mukul lengan Darius dengan kedua tangannya.  

Laki-laki itu menangkup kedua tangannya, menariknya mendekat. 

Ia berada dalam dekapan laki-laki itu sekarang. Ia ingin memukul dan memukulnya, melepaskan rasa sakit  yang ia rasakan, namun tangannya terkunci. Vero hanya bisa menangis. 

My Husband My EnemyWhere stories live. Discover now