Chapter 13: the number you are trying to reach eats a half-boiled egg

Start from the beginning
                                    

Rio berpikir sebentar sebelum bertanya, "Aira, lo mau naik unta enggak?"

"Emang kenapa?" balasku sambil nyengir.

"Soalnya, gue mau naik unta," jawab Rio.

"Terus kenapa? Lo mau gue nemenin lo?" tanyaku.

Rio menggeleng. "Bukan, gue takut, kalau gue cuma berdua sama untanya, nanti lo cemburu."

Aku tertawa. Sementara Bagas, Angga, dan Putra sibuk menyoraki Rio.

[.]

Malam ini, Mama pulang agak telat. Tadi Mama bilang, dia ada sedikit urusan di kantor yang belum selesai. Jadi, aku memutuskan untuk memasak makanan sendiri. Aku tidak pernah kesulitan memasak—bahkan, aku pernah memenangi lomba memasak untuk umum sewaktu kelas tujuh.

Aku memandang isi kulkasku, dan memutuskan untuk memasak pasta saja. Lagi pula, aku tiba-tiba teringat Mama pernah memberiku buku tentang sejarah pasta. Pasti enak kalau aku bisa makan pasta sambil membaca buku itu.

Aku sedang memikirkan pasta apa yang sebaiknya kubuat, ketika pandanganku jatuh ke deretan telur di pinggir kulkas. Seketika, pikiranku kembali ke percakapan konyolku dengan Rio tadi sore. Aku tidak bisa tidak tertawa. Absurd sekali.

Akhirnya, aku malah memutuskan untuk melupakan pasta, dan mengambil satu buah telur. Kemudian, aku memasaknya sampai setengah matang dan menangkupnya dengan roti. Walaupun tidak jelas, melakukan ini rasanya menyenangkan.

Sambil makan di kamarku, aku membuka-buka buku pelajaran. Aku sedang mengerjakan latihan soal ketika ponselku berbunyi.

Aku meraih ponsel tersebut dan menatap layarnya dengan bingung.

Incoming Call
Arka

"Halo?" tanyaku setelah menerima panggilan tersebut.

"Maaf, salah sambung!" seru Arka dari seberang sana. Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, Arka berkata sambil tertawa, "Saya bercanda."

Aku tertawa. "Kenapa telepon?"

"Saya rasa, kamu yang mau nanya sesuatu," balas Arka. "Saya lihat di kelas tadi, kamu kayak sempat pengin nyamperin dan menyerbu saya dengan pertanyaan."

Aku agak terkejut. Dari mana Arka tahu aku ingin menanyakan sesuatu?

"Tahu dari mana?" tanyaku akhirnya.

Arka tertawa kecil. "Berarti benar, kan?"

"Eh, iya," jawabku sambil menggigit roti isi telur setengah matangku.

"Jadi, tanya aja."

"Aisya itu, orang yang mau kamu telepon waktu kamu malah salah sambung ke saya?" tanyaku, cuma sekadar memastikan.

"Iya," jawab Arka.

"Terus, waktu kamu nanya soal Pride and Prejudice itu—" Aku menghentikan ucapanku—takut apa yang kutanyakan ini hal pribadi. Tapi, biar saja, lah. Aku kan cuma bertanya, dia tidak harus menjawab. Lagi pula, kalau dia merasa risi dengan pertanyaanku, siapa suruh bertanya padaku waktu itu? Dan kalaupun dia tidak mau menjawab, aku sudah tahu jawabannya. "—itu karena Aisya, ya? Saya tebak, Aisya kayak enggak membalas perasaan kamu, dan kamu mikir, apa jangan-jangan Aisya ini kayak Jane Bennet di Pride and Prejudice?"

Hening beberapa saat, kemudian Arka tertawa. "Ya, ya, kamu benar semua. Kalau tadi itu ulangan, nilai kamu udah seratus."

Karena bingung harus membalas apa, aku berkata, "Kalau masalahnya kayak gini, saya yakin, Aisya bukannya mau jadi perawan seumur hidup, kok." (Waktu itu kan, kami sempat membahas tentang Hestia, Artemis, dan Athena.)

The Number You Are Trying to Reach is Not ReachableWhere stories live. Discover now