Chapter 12: the number you are trying to reach meets arka's jane bennet

Comenzar desde el principio
                                    

"Ya udah, Mama usahain deh, kamu enggak maju atas nama sekolah," kata Mama. "Tapi kalau enggak bisa, gimana?"

Aku menatap Mama dan menyadari kalau, entah kenapa, Mama benar-benar bersemangat soal olimpiade ini. Aku teringat bahwa selama ini (yah, setidaknya selama aku SMA), aku secara tidak langsung sudah berbohong kepada Mama juga. Aku jadi tidak enak.

"Enggak apa-apa, kok, kalau dari sekolah," kataku akhirnya.

Mama tersenyum senang. Kemudian, dia berkata, "Omong-omong soal jadi sorotan, apa temen-temen kamu di kelas udah mulai nanya-nanya latihan soal ke kamu?" tanya Mama, teringat kebiasaan teman-temanku di awal aku masuk sekolah—mereka sering menanyaiku tentang sesuatu yang tidak mereka mengerti. Tapi, tidak bertahan lama. Soalnya mereka berkata, aku terlalu detail dalam menjelaskan dan mereka jadi pusing. Lama-lama, tidak ada yang menghiraukanku lagi. Apalagi, ketika mereka tahu aku anak klub olimpiade—aku jadi semakin tidak terlihat.

Aku mengangkat bahu. "Mereka belum tahu kayaknya."

"Belum tahu kalau kamu pintar?" tanya Mama, heran.

"Belum ada ulangan sejauh ini," jelasku. "Jadi, mereka belum tahu nilai-nilaiku."

Sebenarnya, aku sudah pernah memikirkan hal ini. Aku berencana, tetap mendapatkan nilai bagus, tapi tidak sebagus waktu aku di SMP. Mungkin aku akan sengaja menjawab salah di beberapa soal.

Tentang klub tambahan, ya, aku tidak akan menjatuhkan nilaiku seekstrem standar klub tambahan, jadi mungkin mereka akan mengeluarkanku begitu nilai ulangan harianku keluar. Tapi apa masalahnya? Toh, aku kan, memang ingin keluar dari sana.

Mama mengangguk-angguk mengerti. "Oh, gitu," katanya sambil bangkit dari duduk. "Ya udah, Mama mau ngerjain sesuatu dulu, ya. Kamu masih mau di sini?"

Aku mengangguk.

Setelah itu, Mama menghilang ke dalam ruang kerjanya.

[.]

Pagi ini, Kalila mengirimiku pesan yang isinya, aku harus menunggunya di kantin. Katanya, dia ingin bercerita tentang kejadian di hari Minggu kemarin—waktu Reza ulang tahun dan dia menyerahkan kado dari Viara.

Sebenarnya, dia bisa saja bercerita lewat telepon atau apa, tapi katanya, dia ingin melihat ekspresiku ketika dia bercerita. (Kalila bilang, kalau lewat video call, gambarnya suka berhenti-berhenti dan mukanya jadi jelek.)

"Alig, gue seneng banget!" seru Kalila begitu dia melihatku sedang duduk menunggunya di kantin.

Kata Rio, kalau ada kata-kata aneh, coba dibalik dulu. Oh, oke, alig itu gila.

"Gimana kadonya?" tanyaku begitu Kalila sudah duduk di hadapanku.

Kalila nyengir. "Lo harus lihat ekspresinya Viara, Ra. Dia awalnya kayak orang kesambet petir, terus kayak orang kebelet buang hajat."

Aku tertawa, karena aku memang pernah melihat ekspresi kebelet buang hajatnya Viara.

"Terus, Reza sama orangtua lo gimana?"

"Reza ketawa," jawab Kalila. "Orangtua gue, ya, mereka juga ketawa. Terus, gue iseng-iseng aja nanya sama mereka, gambarnya bagus apa enggak. Mama bilang, gambarnya lumayan. Papa setuju sama Mama. Ya udah, gue bilang itu gambar gue."

"Terus mereka bilang apa?" tanyaku.

"Cuma ngangguk-angguk aja, sih. Tapi mending kan, daripada mereka menghina gambar gue?" Kalila memasang cengiran di wajahnya.

Aku mengangguk. "Terus, yang soal olimpiade itu gimana?" tanyaku.

Kalila mengangkat bahu. "Belum diomongin lagi, dan gue juga enggak mau mikirin soal itu. Nanti aja, deh. Gue lagi seneng orangtua gue akhirnya ngelihat gambar gue lagi—sekaligus bikin Viara mampus."

The Number You Are Trying to Reach is Not ReachableDonde viven las historias. Descúbrelo ahora