2 Pipi dalam Sehari

177 19 12
                                    

"Nis-"

Tepakk.

Tangan kananku mendarat tepat di pipi kiri Adam.

Adam tampak sedikit shock, namun kemudian kembali sadar dan memegang tangan kananku yang baru menamparnya dan menarikku ke dekapannya. Adam memelukku di depan kampusnya! Air mata turun tak henti-henti dari kedua mataku. Dari balik tangan Adam yang memelukku, aku dapat melihat wajah gadis yang bersama Adam tadi. Hidungnya bangir, bertengger kacamata minus berframe hitam. Dia memakai jilbab putih sutra dan kaus lengan panjang berwarna biru. Wajahnya tampak shock, sama seperti wajah Adam tadi. Adam, aku jadi teringat aku masih dalam pelukannya. Cepat-cepat kubebaskan diriku dari dekapan Adam. Hangat, tapi terlalu menyakitkan bagiku berada didekapan si Playboy satu ini! Aku meronta-ronta, mengakibatkan Adam melepaskan dekapannya. Aku pun berlari mendatangi Nasim meminta kunci mobil. Dahi Nasim langsung berkerut. Aku sudah pernah latihan membawa mobil beberapa kali, tetapi hasilnya tidak terlalu bagus. Apalagi keluar ataupun memarkirkan mobil di parkiran! Untung saat itu Mama mengasuransikan mobil kami. Itu sebabnya Nasim tak pernah mengizinkanku lagi mengemudikan mobil.

"Please. Kali ini aja, gue bakal hati-hati." Kataku mengemis. Air mata masih keluar dari kedua pelupuk mataku.

Nasim menghembuskan nafas yang panjang kemudian mengambil kunci mobil dari kantungnya.

"Fokus! Jangan nangis." Katanya sambil menghapus airmataku. Ia pun memberikan kunci itu. Aku mengangguk pelan kemudian berlari ke parkiran sebelum Adam sempat mengejarku.

Bip..bip.

Aku segera naik dan menutup mobil dari dalam. Aku memasukkan kunci ke lubangnya dan menghidupkan mesin mobil. Tak lupa kukunci pintu, supaya tidak ada yang bisa masuk. Di dashboard, ada kotak tissue. Aku pun mengambil kotak tissue itu dan mengeluarkan berlembar-lembar isinya mengelap air mataku. Kok aku jadi menye-menye di depan banyak orang sih! Malu-maluin aja!

Aku pun menghidupkan radio dan AC, guna merilekskan diri. Setelah kira-kira detak jantungku sudah stabil, aku pun memacu kendaraanku melewati gerbang kampus dan pergi ke manapun aku bisa pergi.

***

Ini mungkin aneh. Kalau biasanya orang sedih, galau, datangnya ke café atau pulang ke rumah. Tapi aku beda, aku malah memarkirkan mobilku di salah satu warteg yang bisa kutemui. Alasannya sederhana, memarkirkan mobil di warteg itu gampang, gak banyak 'atreeekk..!', 'banting stir, dekk..!' atau lainnya yang gak kumengerti ketika memarkirkan mobil di tempat-tempat terbatas seperti di parkiran. Kalau gini kan, gampang. Tinggal parkirin sembarang saja.

Aku menutup pintu mobilku dan menekan remote, sehingga terdengar bunyi bip 2 kali.

Aku memesan satu nasi kari ayam dan untuk minumannya, es teh manis. Namun sebelumnya, aku mengecek dompetku, takut-takut isinya cuma Rp2000 yang bahkan untuk bayar parkir saja tidak cukup.

"Ni, Neng." Kata si pemilik warung.

"Makasih." Kataku. Suaraku masih bergetar dan pecah, menandakan aku baru saja menangis.

"Lah, kok nangis, Neng?" Tanyanya.

"Gak papa." Jawabku yang lalu sibuk dengan makananku.

***

Makananku sudah habis tak bersisa. Aku menikmati teh manis dingin yang kini es-nya sudah mencair sambil memainkan smartphone-ku. Aku membuka Instagram, mencari-cari di akun Adam, barangkali ada foto cewek itu di postnya, ketika ada suara memanggilku.

"Nisa?"

Fadil.

Kenapa harus ketemu dia sih disaat-saat seperti ini! Jeritku dalam hati. Apa dunia begitu sempit yang bahkan di warteg pun bisa ketemu dia! But...wait! Di WARTEG! Aduhh, harga diri gue bisa jatuh! Udah jatuh ketimpa tangga pula! Eh, kok jadi peribahasa ya? Aduh gimana nih!

"Nis?" Tanyanya lagi, membuyarkan lamunanku tentang tangga dan teman-temannya (?)

"Eh, Fadil. Duduk, duduk," aku mempersilakan dia duduk di kursi di hadapanku.

"Bareng Ellona?" Tanyaku.

"Gak, sendiri." Jawabnya sambil duduk menopang kepala pada kedua tangannya, sikut di atas meja. Entah mengapa jantungku berdebar kencang melihatnya. Jangan, jangan kayak gitu Nisaa! Batinku. Lo udah punya pacar, bodoh!

"Nis," panggil Fadil lagi. "Lo kok dari tadi termenung trus. Apa ada masalah?"

Ingin sekali kuteriak di depan wajahnya, "Ini semua salah sepupu loo!", tapi untuk apa?

"Gak papa. By the way, lo kok ga sama Ellona?" Kataku mengalihkan pembicaraan.

"Ada masalah." Jawabnya pelan.

"Loh, kalau lo lagi ada masalah sama Ellona, lo mendingan jangan deket-deket gue deh, nanti kalau misalnya Ellona lewat, trus liat kita berduaan, nanti malah dia pikir yang enggak-enggak." Cerocosku.

"Gak apa-apa. Biarin aja. Gue pun mau putus aja sama dia." Katanya santai.

Plakk.

Tangan kananku menampar pipi orang untuk yang kedua kalinya hari ini. Fadil meraba-raba pipinya yang memerah. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Sama saja dengan sepupunya itu.

"Lo kok nampar gue?!" Katanya berang.

"Lo harusnya ngerti perasaan cewek yang suka sama lo! Dulu gue, sekarang Ellona. Saraf lo dimana sih? Kok bisanya gak peka-peka. Apa jangan-jangan lo sarap?! Ishhh, gue kesel banget sama lo sekeluarga. Asal lo tau, sepupu lo si Adam-Adam itu sama busuknya sama lo! Bisa-bisanya gebet cewek lain!! Ehhh, gerem banget gueeee! Dan lo lagi, bisa-bisanya lo gunain gue sebagai sarana lo putus. Dan kalo lo putus, lo ga pernah tau kan betapa sedihnya Ellona. Gue dulu pernah mau rebut lo dari Ellona, pernah berencana, tapi gue tau rasanya sakit banget bagi si Ellona, jadi gue gak jadi lakuin itu. Trus gue pikir gue diberkati, bisa dapet Adam, yang gue pikir itu lebih baik. Eh, malah sama aja!" Mulutku tak henti-hentinya mengeluarkan segala unek-unek yang selama ini terkunci rapat di relung hatiku.

Fadil mengerjap-ngerjap, kemudian berkata, "Sorry, Nis, gue gak bermaksud jadiin lo sarana untuk putus, ataupun nge-PHP-in lu. Gue juga minta maaf buat tingkah laku sepupu gue. Tapi bisa gak lo jangan salahin keluarga gue?" Matanya lurus menatapku, begitupun mata-mata pelanggan warteg itu, juga mata si pemilik warteg. Aku merasa malu sendiri. Selain itu, air mataku turun tak terkontrol, saking emosinya. Jantungku memompa tak karuan. Belum lagi aku merasa tak enak hati karena menyangkutpautkan masalah pribadi dengan masalah keluarga. Itu sangat tidak etis. Dan, tunggu, apakah aku baru saja menyatakan perasaanku secara tidak langsung kepadanya?!

HEARTBREAKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang