BOOK I - Bagian 03

1.4K 151 29
                                    


Hari-hari yang Hana lewati terasa semakin membosankan. Cincin yang ditemukannya tidak lagi menunjukkan adanya tanda-tanda misterius. Jadi Hana sibuk belajar seperti biasa dengan perasaan was-was kalau teror akan datang kapan saja.

Setelah menghadiri lomba cerdas cermat bahasa Inggris di sekolah tetangga, Hana kelelahan hingga tertidur di dalam kelas. Meski membawa pulang piala juara satu, lomba tadi sempat membuatnya marah-marah karena ketidakadilan juri. Karena kesal, Hana nyaris membentak juri dan kena omelan guru pembimbing. Padahal dia menekan tombol 0,1 detik lebih dulu daripada tim dari sekolah tetangga.

Baru saja dia tertidur, tiba-tiba seseorang menggebrak meja dan menepuk punggungnya dengan keras. "Bangun, bangun!" teriak Amin.

Hana terlonjak dan mengerjap-ngerjap. Dengan muka kusut dan mulut cemberut, dia mendorong Amin mundur. "Sana! Aku capek!"

"Geng Chache bikin ulah lagi!" teriak Amin.

"Ah, giliran kamu yang urus mereka!" gerutu Hana.

"Masalahnya Ana ada disana!"

Mata Hana langsung terbuka lebar mendengarnya. "Dimana?" Tanpa basa-basi dia mengikuti Amin ke TKP.

Hana melongo ketika halaman belakang sekolah dipenuhi beberapa murid yang tertawa juga berteriak marah. Yang membuatnya lebih bingung lagi adalah beberapa diantara mereka membawa papan kayu, asbes dan daun pisang. Ada seorang anak perempuan dari kelas satu keluar dari kerumunan. Bajunya basah dan dia kedinginan.

"Ada apa sih?" tanya Hana.

"Biasa, aksi pembullyan," jawab seorang murid cowok dari kelas 3-B.

Sebenarnya Hana malas meladeni kelakuan kelompok cewek centil itu. Padahal tinggal melapor saja pada guru-guru di kantor. Tapi tempat ini jauh dari jangkauan kantor, guru-guru juga sedang ada rapat. Mereka pasti sedang membahas akan memasukkan Hana ke perlombaan semester depan atau tidak. Soalnya dia baru saja bikin reputasi sekolah jadi buruk.

Hana melirik orang-orang disekelilingnya. Wajah mereka yang bahagia terlihat kesal dengan kehadirannya, sementara wajah yang sengsara terlihat bahagia. Hana merasa kesal karena hanya dirinya yang berani membantu mereka. Meski Geng Chache dikenal sebagai anak pejabat dan turunan ningrat yang suka mengancam siapa saja, harus ada yang berdiri melawan keegoisan mereka. Rumah Hana cukup sering didatangi orang-orang tak dikenal—yang sepertinya suruhan mereka. Tapi ibunya punya banyak teman pejabat tinggi di pemerintahan pusat. Belum lagi ayahnya punya saudara ahli teknologi nuklir. Kalau keluarganya diancam, bisa jadi rumah pengancamnya dijatuhi bom nuklir atau diberi hukuman berat. Tinggal pilih jadi debu duluan atau menua di penjara dulu.

Tangisan dan teriakan marah terdengar di balik kerumunan. Ada suara semburan air diiringi tawa anak-anak perempuan di sana. Mereka pikir tempat ini wisata kolam renang?

"Sudah mainnya?" tanya Hana yang memecah suasana ricuh menjadi hening.

Keenam anak perempuan yang berdiri di atas batu itu menutup keran dan melihat Hana dengan senyum pongah. "Asyik, pahlawannya datang," ejek ketua geng bernama Lili.

Yang Hana lakukan adalah berlutut memberi hormat. "Terima kasih, Yang Mulia." Lalu dia berdiri dan memasang wajah datar lagi. Hana melihat dua anak laki-laki dan tiga orang perempuan, termasuk Ana, berjongkok di atas tanah. Tubuh mereka basah kuyup setelah disembur air habis-habisan. Afrika sedang kesulitan air bersih, tapi Geng Chache malah buang-buang air. Lagipula manusia mana yang butuh dimandikan di depan orang banyak? Mayat saja dimandikan di tempat tertutup.

Belum Hana melirik keenam perempuan bandel itu lagi, mereka keburu mengarahkan selang air padanya. Hana diserbu puluhan liter air dan masih berdiri mematung diantara kerumunan. Semakin lama dia jadi kesal dan berjalan maju ke arah mereka.

Seri KESATRIA BINTANG (✔)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ