Chapter 10: the number you are trying to reach has a tutor, not a husband

Mulai dari awal
                                    

Oh ya ampun, ini gambar terkonyol sekaligus terbagus yang pernah kulihat.

"Gimana?" tanya Kalila sambil nyengir. "Pulang sekolah ini, mau gue bungkus kado."

"Bagus banget," kataku setelah beberapa saat. "Gambar lo bagus, serius." Kemudian, aku teringat percakapan Kalila dan kedua orangtuanya beberapa waktu yang lalu. Aku ingat apa yang orangtua Kalila katakan soal bakat menggambar Kalila. Aku bertanya-tanya, apa orang tua Kalila pernah melihat gambar Kalila?

Aku, yang pernah mengalahkan ribuan orang dan memenangi lomba melukis internasional untuk umum sewaktu kelas satu SMP saja, mengaku tidak bisa menggambar sebagus Kalila.

"Makasih," kata Kalila. Aku tahu dia senang, walaupun dia berusaha tampak biasa-biasa saja.

Aku mengembalikan figura tadi kepada Kalila. "Semoga Viara ada di sebelah Reza waktu dia buka kadonya itu."

Kalila mengangguk-angguk dengan senang. "Pasti. Viara kan, SKSD banget sama keluarga gue. Palingan dia udah muncul jam dua belas malem. Kayaknya, dia punya kekuatan super buat muncul tiba-tiba. Gue enggak bakal kaget kalau tiba-tiba, dia muncul dari dalam kloset waktu gue lagi mandi."

Aku tertawa lalu bertanya, "SKSD?"

"Sok kenal sok deket," jawab Kalila. Tampaknya, mood-nya benar-benar bagus dan dia sedang teralihkan oleh semangat tentang kado Viara untuk Reza, sehingga dia tidak repot-repot menggodaku karena aku tidak tahu bahasa-bahasa aneh yang diucapkannya.

"Enggak cuma Viara aja, kok. Udah jadi tradisi di keluarga gue, kalau setiap ada yang ulang tahun, buka kadonya ramai-ramai. Jadi, orang tua gue bakal ngelihat juga gambar gue," jawab Kalila.

"Lo enggak takut dimarahin?" tanyaku, membayangkan reaksi Om Taufik dan Tante Anisa.

Kalila menggeleng. "Enggak. Biar mereka lihat gambar gue juga."

Kemudian aku sadar. "Orang tua lo pasti sadar kok, kalau gambar lo bagus banget."

"Semoga," kata Kalila sambil mendengus. "Waktu kecil, gue suka gambar-gambar enggak jelas di tembok. Ya, jelas orang tua gue marah dan nyita semua krayon gue. Sejak saat itu, gue keseringan diem-diem kalau gambar. Ya, walaupun sampai sekarang, gue kadang-kadang nyoret-nyoret tembok cuma biar bikin mereka kesel."

Aku mengerutkan kening. "Sayang banget, padahal mereka pasti seneng kalau anaknya punya bakat dan berprestasi," kataku, teringat reaksi mereka ketika Reza menceritakan kegiatan-kegiatannya.

"Iya, emang. Tapi selain gambar. Mereka lebih suka gue pinter di akademik, atau olahraga," jawab Kalila. "Menurut gue sendiri, selain karena gue suka gambar-gambar di tembok, itu juga karena orang tua gue enggak ada yang bisa dan minat di gambar. Mereka dominan di akademik dan olahraga. Maksudnya ya, bukannya mereka terang-terangan ngelarang gue, tapi kita biasanya lebih nyambung sama orang yang hobinya sama, kan? Nah, begitu juga orangtua gue--mereka jadi lebih nyambung ke Reza."

Aneh sekali. Mama senang aku berprestasi, makanya dia selalu mendorongku di berbagai macam aktivitas. Berbeda dengan orang tua Kalila, Mama mau aku berprestasi di segala bidang. Mulai dari akademik sampai seni. Semuanya. Dan aku juga tidak keberatan, soalnya itu semua menyenangkan.

Tapi Kalila tampaknya tidak akan sependapat denganku. Dia tampak sama sekali tidak tertarik pada akademik atau olahraga.

"Bahkan, mereka udah mau daftarin gue ikut olimpiade beberapa kali," kata Kalila. "Yang selalu gue tolak. Tapi tadi pagi, mereka minta gue ikut olimpiade lagi."

Aku berpikir sebentar kemudian berkata, "Kenapa enggak lo bikin perjanjian aja, Kal? Misalnya lo ikut olimpiade, orang tua lo harus mendukung hobi gambar lo. Kayak bolehin lo ikut kursus atau lomba gambar gitu."

The Number You Are Trying to Reach is Not ReachableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang