Chapter 8: the number you are trying to reach has a tutor

Start from the beginning
                                    

Di perjalanan, aku sempat melihat Kalila. Dia tampaknya sedang diseret oleh Viara--entah untuk melakukan apa. Kalila sempat menoleh kepadaku lalu mengedipkan mata. Entah apa maksudnya. Aku mengingatkan diri sendiri untuk menanyakannya kepada Kalila nanti.

Aku mendorong pintu kelas tambahan IPA (di depan pintu itu sekarang ada tulisan: KELAS TAMBAHAN IPA), lalu berjalan memasuki kelas. Di dalam belum terlalu ramai--kursi-kursi di barisan pertama dan kedua masih ada yang kosong. Tapi aku memutuskan untuk duduk di barisan ketiga (aku tidak mau berebut kursi dengan salah satu cewek mirip Hera itu. Mereka kan, bisa saja mencakarku dengan gelang dan aku tidak mengenakan gelang sama sekali).

Sambil menunggu kelas dimulai, aku merogoh tas dan mengeluarkan novel Sherlock Holmes yang kubawa. (Membaca novel tidak akan membuatku terlihat tidak biasa-biasa saja, kan?)

Saat aku sedang larut dalam bacaanku, seseorang tiba-tiba berkata, "Halo, Aira."

Aku mendongak dan mendapati Arka berdiri di depanku. Sejak kapan dia ada di situ?

Aku menutup bukuku. "Hai."

"Sherlock Holmes," komentarnya sambil membaca tulisan di sampul bukuku. "Itu baru kamu baca, atau lagi diulang?"

"Lagi diulang," jawabku.

Arka mengangguk-angguk. "Omong-omong, ini yang mau saya bilang. Boleh saya pinjam A Tale of Two Cities kamu? Punya saya hilang. Kayaknya dipinjam temen, tapi sampai sekarang belum dibalikin. Sejak bahas A Tale of Two Cities sama kamu, saya jadi pengin baca lagi," jelasnya.

Aku mengangguk-angguk. "Oke, boleh-boleh aja. Besok saya bawa." Kemudian, aku teringat sesuatu. "Em, Kak--, maksud saya, kamu punya novel Dickens yang lain, enggak?"

Arka mengangguk. "Saya punya Great Expectations, Oliver Twist, A Christmas Carol, sama David Copperfield. Oh ya, A Tale of Two Cities juga sebenarnya masih secara sah punya saya," jawabnya sambil nyengir.

"Boleh saya pinjam Great Expectations?" tanyaku. "Saya udah lama enggak baca itu, dan belakangan ini, saya nyari-nyari itu. Saya dulu waktu baca, pinjam punya Mama saya. Tapi dia enggak terlalu suka, kalau novel-novelnya dipinjam orang lain."

"Oh, boleh, kok," jawab Arka sambil tersenyum. "Besok saya bawa."

Aku balas tersenyum. "Oke."

Arka kemudian berbalik dan berjalan menuju mejanya. Beberapa saat kemudian, orang-orang mulai masuk ke dalam kelas, dan aku sadar, aku masih tersenyum.

Ya ampun. Aku merasa seperti orang bodoh.

[.]

"Sebelum kita belajar ke mana-mana, gue mau ngasih tahu kalian dulu--apa sih, ilmu Kimia itu. Intinya, Kimia itu mempelajari materi. Nah loh, apa itu materi? Pasti udah pada tahu dong, kalau materi itu adalah segala sesuatu yang memiliki massa dan volume--jadi kita, itu juga materi.

"Materi itu tersusun atas partikel-partikel. Dan wujud-wujud materi itu terbentuk dari perbedaan kerapatan antar partikel."

Kelas tambahan hari ini benar-benar membosankan. Satu-satunya hal yang membuatku bertahan adalah, cara Arka mengajar. Oke, bukannya dia punya metode genius yang bisa membuat murid-murid langsung memahami materi atau apa. Tapi entahlah, ada sesuatu dari cara dia mengajar yang membuatku tertarik untuk terus mendengarkannya.

"Lo tahu besi? Tahu kayu? Apa coba bedanya? Bukan, bukan karena yang satu jadi meja kalian di sekolah, satunya lagi enggak--jangan receh, deh, Angga. Besi itu tersusun atas unsur-unsur besi--Fe. Kalau kayu, itu tersusun atas senyawa selulosa, di mana, si senyawa ini mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen."

The Number You Are Trying to Reach is Not ReachableWhere stories live. Discover now