Tiga Puluh Lima

143K 14.6K 591
                                    

Edo baru saja kembali dari bimbel, ketika menemukan Dita berdiri di depan rumahnya. Gadis itu menatap rumah yang berhadapan dengan rumah Edo. Tatapan Dita begitu kosong dan sarat kerinduan.

"Bokap lo udah nggak pernah kesini," ujar Edo membuat Dita tersadar dari lamunannya.

"Gue udah tau, gue juga nggak nyangka, ternyata rumah itu... sedikit ngangenin." Dita tersenyum pilu menatap bangunan putih di hadapannya. Dulu ia membenci rumah itu, karena ketiadaan Reno dan mamanya di sana, namun kini ia justru merindukannya, merindukan saat Reno sengaja bertandang ke rumah papa, saat Reno menemani Dita sampai ia terlelap, bahkan Dita merindukan saat-saat dimana Reno bercerita tentang Cessa di balkon kamarnya.

"Yang lo kangen bukan rumahnya, tapi kenangannya, ya 'kan?" Dita mengangguk lemah, menjawab pertanyaan Edo. Senyum terukir di bibir gadis itu, teringat tujuan awalnya datang ke sini.

"Do, gue butuh lo..." Edo mengernyitkan dahinya kala mendengar kalimat Dita, tersadar bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi.

"Butuh ap-" belum sempat Edo menyelesaikan pertanyaannya, Dita sudah melingkarkan kedua tangannya di leher milik Edo. Wajah gadis itu sendiri sudah bertopang di bahunya, melalui hembusan napas gadis itu, dapat Edo rasakan kekalutan yang luar biasa pekat.

"Maaf..." suara Dita bergetar saat mengatakannya, Edo dapat merasakan cairan hangat membasahi tengkuknya setetes demi setetes.

Edo membeku di tempatnya, belum dapat mencerna apapun sampai Dita melepaskan pelukannya lalu masuk ke dalam mobil dan menghilang ditelan jarak. Dalam beberapa waktu, Edo kira itu hanya mimpi, namun suara Dita ketika cewek itu mengucapkan kata terakhirnya, membuat Edo tersadar.

Sesuatu mungkin saja telah terjadi, dan detik berikutnya Edo teringat seseorang yang mungkin saja terluka. Cessa!

Dengan gerakan cepat Edo mengkontak Elang, namun sampai panggilan ketiga, telfon itu tetap terputus oleh operator. Edo baru berniat mengkontak Chika, ketika Elang balik menelfonnya.

"Ha-" Belum sempat Elang mengucapkan kata pembuka, Edo langsung memotongnya.

"Lo lagi sama Cessa nggak?"

"Enggak, gue baru aja balik abis nganter dia, sekarang gue udah di rumah sakit lagi," ujar Elang membuat Edo menghela napas lega.

"Kenapa sih emang, Do? Tadi abangnya juga nanyain nih, malah sampe pesen biar jagain tuh anak." Mendengar kalimat Elang, Edo tersadar. Maaf tadi, mungkin bukan untuk yang telah terjadi, namun mungkin untuk apa yang akan terjadi.

***

Cessa baru saja ingin membuka pintu rumahnya, ketika sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya, seketika itu pula tubuhnya menegang, pegangannya pada gagang pintu mengerat, membuat buku-buku jarinya memutih. Gemetar, dibacanya ulang pesan yang baru saja masuk tersebut.

Tetap sama, setiap hurufnya tetap sama seperti pertama kali ia membacanya.

From: Anindita Wicaksono
Abang lo sayang banget sama lo ternyata ya? Sampe rela menggantikan lo begini?

Kalo mau abang lo selamat, dateng ke tempat lo ngebunuh Reno.

Pesan itu diikuti sebuah foto, dalam foto itu Cessa dapat melihat punggung seorang cowok yang bersandar pada sebuah motor. Motor yang Cessa kenali sebagai motor Rangga, drummer band asuhan Kai, dan Cessa tidak perlu melihat dua kali untuk mengenali milik siapa punggung tersebut. Dengan sangat yakin, dapat ia pastikan, itu adalah punggung Kai.

Setelah tersadar dari keterkejutannya, Cessa berlari meninggalkan rumahnya, tidak memperdulikan kunci yang masih menempel pada lubang, ataupun tasnya yang tergeletak begitu saja.

Are You? Really?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang