Chapter 5: the number you are trying to reach is calling the wrong number

Start from the beginning
                                    

"Halo?" ulang suara itu.

"Hai," balasku, bingung harus mengatakan apa.

"Saya bicara dengan siapa, ya?" tanyanya. Dari suaranya, dia terdengar ramah. Tapi tetap saja, aku tidak tahu dia siapa.

Aku menatap deretan tulisan di buku yang terletak di pangkuanku. Nama Sydney Carton tertangkap oleh mataku. Aku membaca beberapa kalimat di buku itu dengan cepat (membaca buku bisa membuatku tenang dan berpikir lebih jernih).

"Kamu bilang apa?" tanya suara itu.

"Eh?"

"Tadi kamu bilang, Sydney Carton?" tanyanya.

Hah? Apa aku tidak sengaja membaca keras-keras?

"Lupain aja. Saya enggak sengaja baca keras-keras," kataku akhirnya.

"Kamu belum jawab pertanyaan saya. Kamu siapa?" tanyanya.

"Saya... Aira?"

"Aira siapa?"

Aku menjauhkan ponsel dari telingaku dan menatap layarnya. Aku mengecek nomor yang sedang kutelepon, lalu mengecek nomor yang diberikan Rio.

Oh, tidak. Aku salah memencet nomor!

Panggilan yang tadi tidak diangkat itu, benar nomor Rio. Tapi yang sekarang... itu nomor guru kelas tambahanku!

"Maaf, saya salah sambung. Saya dapat nomor ini dari Rio. Dia kasih nomor dia dan nomor ini, dan dia minta saya buat telepon dia, tapi saya malah telepon ke nomor ini. Maaf ya, Pak."

Hening sesaat, sebelum terdengar tawa geli dari seberang. "Enggak apa-apa kok, Aira. Omong-omong, kenapa Rio ngasih nomor saya ke kamu? Dan kenapa kamu manggil saya 'Pak'? Saya bukan bapak-bapak," katanya dengan suara geli.

"Rio daftarin saya ke kelas tambahan IPA. Dan dia ngasih nomor... Bapak?"

Terdengar tawa geli lagi dari seberang sana. "Enggak usah panggil saya 'Bapak''--sekali lagi, saya bukan bapak-bapak. Saya juga bukan guru resmi, kok. Saya ngajar kelas tambahan, cuma karena kakak sepupu saya, yang kerja jadi guru tetap di sekolah kamu, nawarin saya buat magang di sana. Namanya Pak Reza. Tahu?"

"Kurang tahu. Saya baru masuk... Kak?" Aku bingung harus memanggil orang ini dengan sebutan apa.

Dia tertawa lagi. "Anggap teman aja, enggak usah pakai panggilan sopan juga enggak apa-apa. Saya beberapa kali ngajar adek-adek kelas, dan mereka nyapa saya pakai 'gue-lo'."

Aku tertawa canggung, tidak yakin harus berkata apa. "Jadi, saya harus manggil apa? Kayaknya enggak sopan kalau pakai 'gue-lo'. Dan saya enggak tahu nama...."

"Terserah kamu. Oh ya, omong-omong, nama saya Arka."

"Oke, Arka."

Kemudian hening. Setelah beberapa saat, Arka berkata, "Tadi kamu bilang Sydney Carton, kan? Kamu baca A Tale of Two Cities?"

Aku otomatis mengangguk, padahal Arka pasti tidak bisa melihatnya. "Iya, saya udah pernah baca--" aku menghentikan diri sebelum berkata 'Kelas 3 SD'.

"--dulu," lanjutku. "Tapi sekarang, saya lagi baca ulang."

"Wah, saya enggak nyangka. Anak seumuran kamu di zaman sekarang, suka juga novelnya Dickens. A Tale of Two Cities termasuk novel kesukaan saya, lho. Bagian awalnya aja, sudah seperti puisi. It was the best of times, it was the worst of times, it was the age of wisdom, it was the age of foolishness--"

"It was the epoch of belief, it was the epoch of incredulity, it was the season of light, it was the season of darkness, it was the spring of hope, it was the winter of despair," sambungku otomatis. Suara Arka ketika melafalkan cuplikan novel Dickens itu, terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Cara dia mengucapkannya--pelan, pasti, keras, dan lembut, dalam saat yang bersamaan--entah kenapa, seperti tidak mau pergi dari kepalaku.

Arka tertawa. "Kamu baca atau gimana?"

"Saya hafal," jawabku sambil tertawa canggung.

"Kamu lagi baca A Tale of Two Cities sekarang?" tanya Arka.

"Iya," jawabku.

"Sampai bagian yang mana?"

"Sydney Carton jalan sendirian malam-malam di Paris--setelah dia mendiskusikan rencananya dengan Mr. Lorry," jawabku.

"Oh, saya suka percakapannya dengan Mr. Lorry. Ketika Sydney berkata kalau dia menghargai Mr. Lorry seolah-olah, Mr. Lorry adalah ayahnya sendiri--tapi Mr. Lorry beruntung, karena dia bukanlah anaknya."

Aku terdiam. Kali ini, bukan karena bingung mau membalas apa. Tapi karena aku terlalu terkejut sehingga tidak bisa berkata-kata.

"Saya juga suka bagian itu," kataku akhirnya. "Menurut saya, perkataan Sydney itu, benar-benar menggambarkan dirinya--dia sebenarnya baik dan peduli pada orang lain, tapi dia menganggap dirinya sendiri tidak berguna."

"Benar. Ah, tunggu sebentar, saya baru ingat, saya harus pergi sekarang. Ada yang harus saya kerjakan--tugas kuliah untuk besok. Sampai ketemu."

Setelah membalas sekenanya, aku mengakhiri panggilan telepon.

Aneh. Apa aku barusan mengobrol tentang A Tale of Two Cities dengan orang lain selain Mama? Dan kalau itu belum cukup aneh, aku barusan mengobrol dengan guruku.[]

a.n
dor! jarang kan, nge-post siang-siang gini? lol. sebenernya ini udah mau di-post dari kapan tau, cuma... aku... lupa... dan ntar sore ada acara takutnya kelupaan lagi lmao

btw, chapter 5 ini, aku tulis-hapus-tulis-hapus berapa kali gatau dah. wkwkkw. tapi akhirnya selesai jugaa wahahaha.

22 Mei 2016

The Number You Are Trying to Reach is Not ReachableWhere stories live. Discover now