Part 11

3.9K 172 1
                                    

Aku pergi ke Cafetaria tidak lama setelah para suster lainnya membawa Tiara pergi keluar dari ruangannya. Sejak tadi pikiranku tidak bisa fokus pada hal apapun, bahkan saat Dokter Alvin bicara padaku di ruangan tadi, aku hanya mengangguk seperti orang linglung.

Secangkir capuccino hangat yang sudah tersedia di depanku bahlan tidak bisa membuat suasana hatiku membaik.

'Siapa dia? Siapa yang bersama dengan dokter Alvin itu?'

Hanya itu yang sejak tadi kupikirkan. Ingin sekali aku menanyakannya sejak tadi, tetapi selalu ku urungkan mengingat aku juga tanpa ijin memainkan ponselnya.

Aku baru sadar bahwa hari ini ada janji dengan Ririe utuk bertemu. Mungkin jika aku bersamanya, jtu akan sedikit mengobati mood-ku.

Aku mengambil ponsel yang ada di dalam tas, mencari sebuah nomor hingga sebuah tombol ku tekan untuk menghubunginya.

"Hallo, Mey?"

"Rie, lo sibuk nggak? Ketemuan sekarang yuk!"

"Boleh. Ketemu di mana?"

"Di Cafe biasa. Gue tunggu ya?"

"Ok, Dah ... "

Panggilan itu terputus, dan aku bergegas berdiri dari tempatku duduk saat ini. Sekarang mungkin persiapan operasi Tiara sedang berlangsung, Dokter Alvin dan Papa juga pasti sedang sibuk mengurusnya. Sedangkan aku, aku juga tak akan bisa membantu karena aku sendiri sedang kacau saat ini.

Aku masuk ke dalam mobil, pergi meninggalkan rumah sakit itu untuk sejenak melepaskan pikiran aneh ini dari kepalaku. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah Cafe yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit itu.

Beberapa lama aku menunggu, hingga Ririe langsung memelukku yang cukup terkejut atas kedatangannya. Dia terlihat sangat heboh bertemu denganku, sementar aku sendiri hanya duduk lemas dengan sedikit menyisakan tenagaku untuk bisa tersenyum bersamanya.

Ririe terlihat mengamatiku setelah ia memesan minumannya. Ririe nampak mengerutkan keningnya heran melihat tingkahku yang tak seperti biasanya.

"Kenapa lo? Diam aja," tanya Ririe memulai pembicaraan kami.

Aku mendesah berat, antara harus menceritakan apa yang sedang aku pikiran atau menutupinya sendiri, membuatku semakin prustasi.

"Lo baik-baik aja kan? Kayak habis ditinggal cowok aja lo," tambahnya lagi.

"Katanya lo mau ngomong, mau ngomong apa sama gue?" tanyaku mengubah topik pembicaraan. Aku juga sedikit penasaran tentang apa yang ingin dikatakannya saat menelponku pagi ini.

Namun tiba-tiba wajah sumringahnya sedikit berubah kecut. Ia seperti tak menyangka kalau aku menanyakan secepat itu padanya.

"Emmm ... " gumam Ririe yang terlihat ragu-ragu untuk bercerita padaku.

"Udah ngomong aja!"

"Lo baik-baik aja kan sama ..." -- Ririe masih terlihat berfikir -- "sama dokter Avin?"

"Iya," jawabku sambil mengangguk pelan.

"Maaf ya Mey, bukannya gue mau ngerusak hubungan lo ... "

Aku semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan Ririe, ia menanyakan dokter Avin dan sekarang tentang hubunganku.

'Apa dia tahu sesuatu?' pikirku.

"Gue cuma nggak mau kalo sahabat gue disakitin sama cowok," tambahnya lagi.

"Maksud lo apaan sih?" tanyaku yang ingin Ririe langsung bicara ke intinya.

"Sebenernya waktu gue beberapa kali jalan, gue lihat Dokter Alvin gitu."

"Kapan? Lo salah liat kali?"

"Gue kan tau sama Dokter Alvin dari foto-foto dia yang sering lo send ke gue. Walaupun nggak pernah ketemu langsung ya gue cukup hafal lah sama tampang ganteng kayak dia. Gue pernah dua kali mergokin dia jalan sama cewek, dan itu bukan sama lo."

Seketika wajahku terasa kaku, bahkan bibirku terasa mati rasa dan tak bisa digerakkan. Pikiranku kini melayang entah ke mana, mencocokkan semua yang ku lihat hari ini dan keterangan dari Ririe semakin membuat kalut pikiranku. Aku berharap Ririe berbohong, tapi tak mungkin karena selama ini cuma Ririe sahabat yang bener-bener tulus denganku, walaupun dengan segala tingkah dan kebawelannya.

"Mey, lo nggak papa kan?" tanya Ririe yang memastikan keadaanku.

"Gue nggak papa!" Jawabku sambil berusaha tenang.

"Maaf ya gue ngomong kayak gini sama lo. Gue cuma nggak mau lo sakit hati."

"Emang lo liat mereka di mana?"

"Terakhir gue liat mereka di Mall kemarin sore. Dan waktu gue buntutin, mereka masuk ke toko perhiasan gitu. Gue nggak tau mereka ngapain, soal nya Ali cowok gue ngajakin pulang mulu."

Kini aku semakin larut dalam pikiranku. Rasanya dadaku terasa kosong, bahkan terasa penuh lubang dengan tembakan bertubi-tubi yang diarahkan tepat dijantungku. Mataku memanas, dengan isakan yang coba kutahan.

"Gue pergi dulu ya?" ucapku pada Ririe yang baru saja menyeruput minuman di depannya.

"Lho, mau ke mana lo?"

"Gue lupa ada kerjaan yang belum gue beresin," jawabku sambil berlalu dari tempat itu.

"Oh, ya udah deh." Walaupun terlihat sedikit bingung, akhirnya Ririe membiarkan aku pergi dari sana.

Dengan cepat aku masuk kembali ke dalam mobilku, melemparkan tas itu pada jok samping tempatku dengan seterusnya menumpahkan emosi yang sejak tadi kutahan.

"Nggak mungkin, nggak mungkin Dokter Alvin tega bohongin gue."

Cuma kalimat itu yang sejak tadi keluar dari mulutku. Pipiku sudah basah dengan air bening yang sejak tadi mengalir dari mataku, denvan pikiran bahwa Dokter Alvin menghianatiku sangat membuatku merasa kecewa padanya.

Ingin rasanya aku marah, tapi untuk apa? Aku hanya perlu menjauh darinya, pergi dan tak akan pernah menatapnya lagi.

Tiba-tiba ponselku bergetar, menandakan sebuah pesan masuk di sana. Terlihat beberapa panggilan tak terjawab sudah tertera dilayarnya, dengan satu nama yang sama untuk sebuah panggilan itu, 'Dr. ALVIN'. Sebuah pesan yang juga berasal darinya kini ku buka. Dokter Alvin mengabarkan bahwa operasi Tiara sudah selesai dan berhasil.

Aku hampir saja melupakan Tiara dengan semua permasalahan yang berkecamuk di kepalaku. Aku sudah berjanji pada Tiara untuk berada di Sisinya saat operasinya selesai, dan mau tak mau sekarang aku harus kembali ke Rumah Sakit.

Aku merasa enggan untuk membalas pesan itu. Sekarang aku hanya ingin memikirkan Tiara, dan berusaha mengesampingkan masalahku.

Aku kembali melajukan mobilku meninggalkan tempat itu. Aku sudah bertekad untuk tak lagi memperdulikan dokter Alvin, bahkan jika dia minta maaf padaku.

DOKTER, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang