Part 6

4.3K 206 0
                                    

Aku berjalan menuju halaman depan bersama Dokter Alvin. Aku lebih banyak diam, sedang memikirkan apa yang ada ditempat ini. Kesederhanaan namun membuat anak-anak disini terlihat bahagia.

" Kamu kok diem aja? Nggak suka ya sama tempat ini?" Tanya Dokter Alvin.

" Ah, enggak! Aku suka kok." Jawabku refleks.

Dokter Alvin kini tersenyum saat mendengar perkataanku. Senyum ini yang selalu membuatku terpesona saaf melihatnya.

" Maaf ya, mungkin aku nggak ngajak kamu ke Restoran atau ke Mall. Malah ngajak kamu kesini!"

"Kenapa ngomong gitu? Aku seneng kok, kamu udah ajak aku kesini. Apalagi aku cewek pertama yang kamu ajak kesini!" Balasku untuk mencairkan suasana diantara kami.

Dokter Alvin terkekeh pelan mendengar kata-kataku. Dia kemudian mengajakku untuk duduk disebuah bangku taman didekat tempat bermain yang sudah dipenuhi anak-anak disana.

" Ini adalah yayasan yang dibangun oleh papa aku. Sekarang aku yang harus mengelolanya karena papa udah meninggal. Papa bangun yayasan ini untuk bantuin anak-anak yang terlantar untuk bisa hidup layak!"

Aku menatap dalam-dalam kearah Doktee Alvin saat ini. Mendengar ceritanya aku paham kalau memang Dokter Alvin dan keluatganya adalah orang yang benar-benar baik.

" Sebelum bekerja dirumah sakit Dokter Winarta, aku pernah sebentar bekerja dirumah sakit lain. Dan sedikit membantu papa juga diyayasan ini. Tapi ketika bertemu dengan Dokter Winarta disini, beliau menawari pekerjaan padaku dan akupun menerimanya." Jelas Dokter Alvin lagi.

Aku cuma mengangguk menandakan mengerti dengan semua ceritanya. Tapi sekarang yang menjadi pertanyaan, kenapa papa datang kesini?

" Kenapa kamu bisa ketemu sama papa aku disini?"

" Oh, Dokter Winarta adalah donatur tetap diyayasan ini. Berkat beliau juga yayasan ini bisa menangani anak-anak sebanyak sekarang ini!"

Aku terdiam sejenak, rasanya sungguh bangga memili seorang ayah yang sangat peduli pada orang lain seperti papa. Tapi entah kenapa aku pun jadi merasa malu, karena selama ini aku tidak memperdulikan apapun selain diriku sendiri. Semua uang yang diberikan papa padaku, seringkali ku habiskan untuk membeli barang-barang sesuai fashion terbaru.

" Tiara!" Sapa Dokter Alvin setengah berteriak memanggil seorang gadis kecil berusia kurang lebih 8 tahun yang baru keluar dari dalam rumah.

" Hai Doktel!" Suara Kecil Tiara itu terdengar sangat menggemaskan. Dengan pipi chubbynya tiara setengah berlari menghampiri dokter Alvin dan memeluknya.

" Gimana kabar kamu?"

" Baik. Tiala sekalang udah ada temennya lho!" Jawab Tiara dengan nada polosnya.

" Hai..." sapaku juga kepada gadis kecil itu.

" Hai kak. Kakak cantik, nama kakak capa?"

" Panggil aja aku Mey!" Jawabku.

Tiara menatap kearahku dan Dokter Alvin bergantian. Aku pun sedikit heran apa yang sedang diperhatikan gadis kecil itu.

" Kakak cama doktel pacalan ya?" Tanya Tiara sambil tersenyum. Sontak aku dan Dokter Alvin saling tatap. Rasanya kami berdua sedikit salah tingkah dengan pertanyaan tiara itu.

" Kamu main gih sana sama temen-temen. Tapi ingat, nggak boleh cape ya?" Ucap Dokter Alvin mengalihkan pembicaraan.

" Oke deh!" Tiara segera berjalan menjauh dari kami berdua, aementara aku masih sedikit bingung harus berkata apa sekarang pada Dokter Alvin.

" Tiara itu lucu kan?" Tanyanya.

" Iya, lucu banget. Andai aja aku punya adik kayak dia!" Jawabku.

" Tapi sebenarnya kondisinya nggak sebaik yang terlihat lho!" Ucapan Dokter Alvin sontak membuatku menatap tajam padanya.

" Ma...maksud kamu?"

" Tiara itu menderita kebocoran jantung sejak lahir. ibunya udah meninggal karena hal yang sama. Dan ayahnya menitipkannya disini karena nggak ada biaya buat merawatnya karena penyakitnya bisa sewaktu-waktu kambuh!"

Rasanya dadaku langsung terasa sesak ketika mendengar hal itu. Kebocoran jantung? Itu bukanlah penyakit yang ringan. Satu-satunya cara hanyalah dengan donor jantung untuk mengatasinya. Tapi sangat sulit mendapatkan donor jantung saat ini, belum lagi harus memiliki kecocokan yang cukup untuk bisa transplantasi. Namun untuk menunggu itu bisa saja tiba-tiba jantung itu berhenti berdetak. Rasanya sangat menyedihkan mengingat gadis sekecil itu harus menderita penyakit yang luar biasa.

" Hei, kamu nangis?" Tanya Dokter Alvin tiba-tiba padaku.

Aku segera menyeka air mata yang tergantung disudut mataku. Aku merasa tidak tega melihat gadis kecil seperti itu harus menderita kesakitan yang amat sangat jika penyakitnya itu tiba-tiba kambuh.

" Enggak!" Jawabku.

Dokter Alvin mengelus lembut rambutku dari belakang, membuat perasaanku sedikit tenang.

" Kamu nggak tega ya denger tiara sakit kayak gitu? Dulu waktu pertama ketemu aku juga sama kayak kamu. Namun sekarang kita cuma bisa buat dia tersenyum, bikin dia bahagia terus. Mungkin dengan cara itu dia akan sedikit melupakan rasa sakitnya.

"Iya. Kamu bener! Makasih ya, udah ajak aku kesini. Kamu udah nunjukin banyak hal buat aku disini, aku juga bisa banyak belajar dari tempat ini!" Ucapku.

Tidak terasa kami berdua sudah menghabiskan waktu berjam-jam ditempat itu. Kami berdua pun pamit pulang kepada bu Tinah dan anak-anak disana dan juga tiara.

" Kapan-kapan kakak cantik main kesini lagi ya?" Ucapan Tiara membuat hatiku bergetar. Senyumku mengembang ketika dia melambaikan tangannya mengantar kepergianku.

Aku dan Dokter Alvin kini berhenti disebuah cafe tidak jauh dari rumah sakit. Aku dan Dokter Alvin akan makan siang bersama jntuk pertama kalinya.

Banyak hal yang ku bicarakan dengannya. Hampir semua tentang perjalanan kariernya, masa sekolahnya, hingga pertemuan kami. Aku pun begitu, walau masih ada satu hal yang belum ku ceritakan padanya. Ketakutanku dengan jarum suntik yang menjadi alat wajib dalam profesiku sebagai perawat.

DOKTER, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang