Chapter 3: the number you are trying to reach doesn't speak in human language

Start from the beginning
                                    

Aku mengangkat bahu. "Mager apaan?" ulangku.

"Males gerak," jawab Kalila. "Lo beneran enggak tahu?"

Aku menggeleng. "Kenapa sih, emang? Kayak gue mau ujian pakai bahasa-bahasa begituan."

Kalila melongo. "Apa kata lo? "Bahasa-bahasa begituan"?" tanyanya, membuat tanda petik dengan tangannya. "Itu bahasa manusia! Lo kali, yang enggak bisa bahasa manusia."

Aku nyaris saja kelepasan berkata, kalau aku bisa berbicara dalam lebih dari lima puluh bahasa di dunia--kecuali yang satu itu. Dan lagi pula, kata 'cabut' atau 'mager' tidak ada di kamus mana pun.

"Terserah lo, deh," kataku sambil bangkit dari duduk.

"Lo mau ke mana?" tanya Kalila.

"Pulang," jawabku. "Capek."

Kalila mengerutkan keningnya. "Lo kayak enggak punya hidup deh, Ra."

Aku tertawa. Sebenarnya, aku mati-matian ingin membalas dengan berkata, "Semua orang jelas punya hidup. Halo? Gue masih bernapas. Bedanya, ada yang gunain hidup sebaik-baiknya, ada yang buang-buang waktu hidup--kayak kalian."

"Jangan-jangan, lo mau pulang, terus belajar?" tanya Kalila.

Aku mengangkat bahu. "Bukan. Gue mau baca buku mitologi." Lagi-lagi, aku harus menahan diriku untuk tidak berkata, "Belajar apaan? Gue udah belajar semua materi kelas sepuluh."

"Malah lebih parah!" seru Kalila sambil berdiri. "Ngebosenin banget, tau enggak?"

"Enggak."

Kalila menghela napas. "Ayo, gue kenalin lo sama anak-anak lain. Kayaknya, lo enggak punya temen."

Aku meninju lengannya pelan. "Enak aja! Lo juga kayak enggak punya temen--dari tadi sama gue terus."

Kalila mengangkat bahunya. "Soal itu, temen-temen deket gue enggak pada masuk SMA ini. Gue males aja sama anak-anak SMP gue yang enggak gue kenal banget."

"Terus, sekarang lo mau ngenalin gue ke siapa?" tanyaku.

Kalila mulai berjalan keluar dari lapangan basket. "Ayo, ikut aja. Pokoknya, seburuk apa pun ini, pasti bakal lebih baik daripada lo pacaran sama Persus."

"Perseus," koreksiku.

"Apalah."

[.]

Oke, ini gila.

Kalila berjalan ke arah sekumpulan anak cewek yang sedang mengobrol di kantin. Anak-anak cewek itu berambut panjang, dengan gelang, tas, sepatu yang mirip punya Hera, dan oh tunggu, semua anak cewek itu mirip Hera!

"Kalila!" seruku pelan sambil menyambar lengan Kalila. "Lo mau ngenalin gue ke orang-orang itu?" tanyaku sambil menunjuk cewek-cewek itu.

Kalila mengangguk.

"Emang, lo kenal mereka?" tanyaku.

Kalila tertawa. "Beberapa dari mereka, dari SMP gue. Beberapa lagi, bukan dari SMP gue, tapi mereka kenal gue," jawabnya. "Kalau menjawab pertanyaan lo, enggak, gue enggak kenal mereka. Tapi, mereka kenal gue."

"Kok bisa?" tanyaku.

"Gue itu di SMP dulu semacam, em apa, ya namanya? "It girl" gitu, deh," jawab Kalila.

Aku mengerutkan keningku. "Serius? Terus, kenapa "It girl" di sekolah, mau aja disuruh-suruh pacar kakaknya? Lo kan, harusnya berkuasa dan sebagainya."

Kalila memajukan bibirnya. "Sekolah sama rumah, itu dua hal yang beda. Makanya, gue bete abis waktu gue dipaksa satu sekolah sama kakak gue di SMA. Dan gue enggak bakal bisa jadi "it girl" lagi di SMA, tanpa kakak gue ngadu macem-macem ke orangtua gue."

The Number You Are Trying to Reach is Not ReachableWhere stories live. Discover now