Beluntas

21.6K 1.5K 129
                                    


"Apa kau ingin membuat dirimu lebih berguna?"

"Ya."

"Timbang gula dalam karung. Itu plastik dan stepler. Kalau kau bertanya berapa seperempat, setengah dan sekilo dalam ukuran gram, kau kugantung di alun-alun kota, ngerti?"

Jora mengangguk dan duduk patuh di lantai warung. Tangan kecilnya meraih semua pelaratan yang tadi dititahkan Ben. Lelaki itu duduk di kursi dengan menopangkan kaki ke kursi yang lain, merokok sambil mengisi TTS bersampul cewek berbikini. Hari ini hari minggu, hari kedua Jora berada di sana dan tak ada tanda-tanda akan diterima sebagai penghuni tetap. Semalam, terpaksa ia harus menjadi guling Ibrahim dan menerima lelehan liur di rambutnya dengan perasaan tertekan. Belum lagi dengkurannya yang serupa letusan meriam Belanda.

Ben belum berkata apa-apa sejak tadi pagi dan Jora merasa nasibnya sedang digantung seutas tali yang hampir putus. Ia mungkin bisa menghidupi diri sendiri hingga lima bulan ke depan tergantung dari seberapa mampu ia berhemat, tapi semester awal kelas 12 baru dimulai, masih ada berbulan-bulan lagi hingga menamatkan sekolah.

"Ben?"

Tak ada sahutan, lelaki itu kini menelusuri bikini si model dengan ujung telunjuknya.

"Ben?"

"Kalau kau berhenti jadi kampret, aku akan menjawab tanyamu," ujar Ben. Sekarang Si Bikini diciuminya.

"Sekolahku bagaimana?"

"Sekolah kampret."

"Di kelas 12 ada persiapan ujian. Uangnya takkan sedikit."

"Kan, sudah kubilang aku tak punya uang tapi kau ngeyel, sekarang terima saja nasib kampretmu itu. Dan jangan coba-coba mencuri di warung ini."

"Tapi, Ben..."

"Oi."

Suara berat menginterupsi rengekan Jora. Saat mengangkat kepala seorang lelaki berjaket kulit bersidekap di balik etalase. Rambut cepak, bahu lebar, bibir hitam.

"Kau, Rojak," sapa Ben cuek, matanya tetap pada Si Bikini.

"Pembalut, dua."

Heh? wanita?

"Kau masih datang bulan? Ah yang benar saja...lelaki jadi-jadian macam kau kemaluannya masih berdarah?" Ben tertawa mencemooh, tangannya meraih ke belakang dan meraba-raba barang permintaan Rojak, si lelaki setengah jadi.

Rojak tak menjawab. Wajahnya tenang namun ada bayang kemarahan di sana. Mungkin dalam pikirannya sedang mengira-ngira, dengan cara apa baiknya Ben Ansori mati.

"Tetap kerja hari libur begini? Apa bos kau tak tahu kalau perempuan butuh sehari dalam seminggu untuk mengistirahatkan telurnya?"

"Aku, kan bukan perempuan," sahut Rojak mengingatkan Ben akan hinaannya.

"Makanya. Aku yakin kalau majikanmu dan seluruh dunia ini tak tahu kalau kau itu wanita."

Menghina keberadaan seseorang bisa mendatangkan kesenangan tersendiri. Artinya kau tahu ada yang salah pada diri orang lain sehingga kau bisa melupakan sejenak apa yang salah pada diri sendiri. Sesungguhnya ini perkara adil, hari ini kau mengumpat nasib orang lain, besok hari gantian kau mendapat azab. Minggu pagi Rojak dihina Ben, senin pagi Ben digilas mobil. Adil.

Ace keluar dari dalam rumah, sepasang sepatu bola disandangnya di leher. Ia bersiap main futsal yang semua kakaknya tahu kalau itu bukan olahraga biasa, ada taruhan uang di baliknya.

"Eh, ada Bung Ben dan Mpok Ida. Mau duet apa pagi-pagi? Jali-Jali atau Kemaren Paman Datang?" Ace terkikik sendiri. Matanya mengerling jahil pada sepasang musuh abadi sejak SD, Benjamin Ansori dan Ida Rozali. Satu kampung tahu masa lalu keduanya, termasuk saat Ida meneriakkan rasa sukanya pada Ben lewat toa mushala. Terjadi bertahun-tahun yang lalu, namun orang-orang masih menjadikannya bahan tertawaan, apalagi adegan ketika Ben meneriaki muka Ida dengan tak mungkin aku, Ben Ansori, membuhul cinta dengan banci buduk kayak kau, enyahlah ke neraka!  yang telah melegenda dan menggeser Lutung Kasarung dari dongeng favorit anak-anak kampung.

Hujan Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang