Ansori

44.4K 2.1K 311
                                    

Tidak ada yang berubah dari rumah ini, tak satu pun, bahkan tambahan sebuah kamar juga tidak ada. Tetap sempit dan pengap, selalu lembab pada musim panas, bau comberan saat kota diguyur hujan tanpa henti. Yang patut disyukurinya hanya satu, kawasan ini terletak lebih tinggi dari jalanan, sehingga air bah sekali pun takkan sanggup naik ke atas, kecuali jika air laknat itu tiba-tiba muncul dari atas atap seperti lahar gunung dan menenggelamkannya. Syukurlah dunia tidak berjalan dengan peraturan macam itu kecuali hujan yang memang dijatuhkan dari langit.

Lelaki itu berbaring miring di sofa butut yang melesak di punggung. Meskipun begitu, ia bisa tidur nyenyak di atasnya karena telah terbiasa. Kulit kursi mengelupas di sana-sini dan bagian yang bolong ditambal di sana-sini bertahun-tahun lalu, lalu muncul lubang baru dan tak seorang pun mau merepotkan diri berbuat sesuatu. Persetan. Toh kursi itu akan tetap ada di sana, diduduki, ditiduri, dikentuti hingga nyawanya tamat.

Si sofa menghadap ke sebuah televisi kotak model lama dengan antena bulat bertanduk bertengger sedih di kepalanya. Tayangan dangdut menampilkan segerombolan orang menonton biduanita yang tengah melenggokkan pinggul dan menyodorkan buah dadanya kepada siapa saja yang punya mata. Yanyiannya kira-kira tentang seorang janda yang enggan dikibuli lagi dan lagi. Sepertinya dia janda betulan, karena penghayatannya sangat pas, pikir lelaki yang rebah-rebah itu. Sesekali ia ikut bersenandung mengikuti lagu, lebih sering tergelincir dari nada tapi tak ambil pusing, tak seorangpun yang akan marah soal suara sumbangnya, bahkan tikus pun sedang tidur siang.

Matanya tak sengaja tertumbuk pada satu sudut loteng, ada sarang tawon kecil bewarna kelabu tak berpenghuni, mungkin sedang mencari makan dan baru kembali saat petang menjelang. Kalau dipikir-pikirkan lagi, begitu banyak hewan yang membangun pemondokan di dalam rumahnya. Tikus-tikus yang sering menggerogoti pipa saluran pembuangan mereka, sekiranya sudah lama menjadikan almari tua dan reyot tempat menampung semua rongsokan—yang berdiri miring tepat di balik dinding dapur—sebagai sarang. Dan, ia takkan tahu jika tak sengaja mencari sesuatu yang bisa diloakkan ke pengepul. Ada juga biawak sebesar anak batang pisang, acap berjemur di balik rimbun gulma yang tak tersentuh arit berbulan-bulan lamanya. Ia takkan tahu jika tak sengaja menginjak ekornya saat mencari daun kecipir pengobat bisul di halaman belakang. Sepertinya si biawak datang mencari habitat baru setelah yang lama digusur pemerintah, sebuah rawa di pinggiran Jakarta. Jangan tanya soal jaring laba-laba, karena ada disetiap sudut dinding di rumah ini, bahkan ada yang sudah membangun kerajaan beserta istananya.

Ia membiarkan binatang-binatang itu berbuat semaunya asal jangan sampai menjadikannya santapan. Bangunlah sarang sesuka hati, tanpa perlu takut ditarik sewa atau pajak bangunan. Semata karena ia ingin memberi makan hati nuraninya sebagai manusia yang dikatakan Tuhan berkewajiban untuk membantu sesama. Dalam hidup ia jarang bersedekah, hanya saat hari raya, itu pun sebelum habis ditagih anak-anak tetangga peminta-minta THR, jadi kali ini biarlah ia menyalurkan ketulusannya kepada para hewan itu, toh mereka sama-sama makhluk Tuhan.

Memikirkan hal itu, hatinya lapang dan kembali masyuk menonton dangdut sembari berharap Tuhan mempertimbangkan budi pekertinya dan tak buru-buru menyemplungkan kepalanya ke dasar neraka.

"Bang! Ahoi, Bang! Beli gula!"

Tiba-tiba si biduanita dangdut berganti menjadi sebungkus gula ukuran setengah kilo. Lho, kok bisa?

"Bang! Oi! Gula!"

Ah, ternyata ada yang berteriak-teriak di depan warung, karena si biduan tetap dengan lenggokan bokong dan dada yang sorong ke kiri, sorong ke kanan.

"Ya!" balasnya berteriak. Disini ada peraturan yang sudah inkrah sejak zama Nabi Musa membelah lautan; mata dibalas mata, tabokan dibalas tempelengan, nyawa dibalas nyawa, teriakan dibalas hardikan. Kalau tak kau lakukan, kau ditaruh masyarakat di rantai makanan terbawah, siap dimangsa kapan saja. Lelaki itu bangkit dan menyeret kakinya yang bersandal menuju pintu depan.

Hujan Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang