Sejak kecil, orang-orang sangat mudah jatuh kasihan kepada Miro. Bukan karena ia busung lapar atau punya wajah menggemaskan, tapi lebih karena mulut manisnya yang gampang sekali meraih simpati, terutama jika sudah mengeluarkan senjata andalannya: aku ini anak yatim. Uang, selusin buku, baju, camilan dan doa, mengalir lancar kepadanya seperti kotoran bayi 6 bulan. Ia menyimpan semua rasa kasihan itu untuk dirinya sendiri, sekali-kali dibaginya coklat bersalut kacang untuk Ace yang cuma dapat kacangnya saja. Miro tak pernah merasa bersalah ataupun berdosa, karena ucapan itu bukanlah sebuah kebohongan. Ia memang anak yatim, anak si Yatim.
Makin besar, ia semakin manipulatif. Nada suaranya akan terdengar persuasif saat membujuk korban masuk perangkap. Bodohnya, sebagian dari mereka, tak sadar sudah diteluh Miro lewat suaranya yang berbalut jejampian. Hebatnya lagi tak satupun yang melapor ke polisi saat sadar diri sudah tertipu. Yah, Miro cuma seorang penipu kelas teri, keuntungan yang diambilnya tak banyak, sebagian malah disisihkannya untuk kotak infak masjid.
"Aku ingin mengamankan satu tempat untuk diriku sendiri di surga sana." Begitu alasannya melihat orang-orang yang tak percaya seorang Miro Ansori telah bersedekah.
Ketika aku ini anak yatim sudah tak mempan lagi mengais sudut iba di hati siapa saja, Miro berganti strategi. Ibunya yang pergi dijadikannya sebagai perebut (terutama) hati wanita yang paling gampang diiris jika disodorkan cerita tragis.
"Mami Abang kabur? Kejem banget, deh."
"Begitulah. Abang haus kasih sayang."
"Oohh...sini Adek beliin teh botol."
"Nggak usah. Cendol bolehlah."
Ia hanya sampai SMP. Pendidikan tak lagi menarik lagi di matanya. Bersekolah setinggi apa pun, kelak hanya akan menjadikanmu koruptor atau pegawai jujur. Jika tak sekolah, pilihannya jauh lebih banyak; jadi orang baik tapi miskin, bangsat bermartabat, penjahat culun, atau munafik brengsek. Hidup lebih bisa dimaknai jika topeng yang digunakan lebih beragam. Kau bisa berpindah-pindah jati diri seperti monyet dari satu pohon ke pohon lain, tanpa perlu disangkutpautkan dengan dimana dulu kau bersekolah dan apa merek ijazahmu, begitu elak Miro saat ditanya kenapa ia tak lanjut ke SMA.
Jadi apa kau sekarang, Miro? Tanya Kang Bacang, preman penghuni pos ronda. Jadi apa saja yang kumau, jadi kau pun bisa, jawab Miro. Aku? Aku yang sampah ini, penjudi, pemabuk, tiap hari pukul bini dan anak, mau kau jadi orang macam aku? Gila kau, si pria yang merasa sampah tak henti menggelengkan kepala. Paling tidak kau sudah berguna di hadapan Tuhan, karena turut andil melestarikan manusia lewat anak-anakmu, Miro memuji Kang Bacang yang langsung membelikannya segelas kopi panas.
Dulu Miro penipu, sekarang ia juragan VCD porno paling update dari Brazzers, Naughty America dan Marc Dorcell. Kelak tua entah jadi apa dirinya itu...mungkin jadi Tuhan.
****************************
Jora membuka mata, pening sebentar sebelum memastikan retinanya bisa menangkap bayangan dan benda. Tidurnya nyenyak sekali, setelah dibiarkan menangis seorang diri oleh seluruh saudara yang menolaknya. Sebelum tertidur, Ben datang dengan sebungkus nasi Padang rasa warteg plus es kocok rasa slurpee. Kakaknya bilang, habis makan, kau tidurlah, mana tahu dalam mimpi kau bertemu ilham yang akan menunjukkan dimana kau bisa tinggal.
Ia memang bermimpi dan bersua dengan si ilham yang dimaksudkan Ben. Dia bilang, rumah ini adalah rumahnya juga, jadi tak usah kemana-mana lagi. Ya sudah, Jora memutuskan akan tetap di sini, jika nanti diusir Ben lagi, ia akan menyampaikan pesan Bang Ilham.
Punggungnya ngilu saat membalikkan badan. Di bawah jemarinya, pasir berserakan diatas seprei, kasurnya tipis sekali sampai-sampai punggungnya langsung bisa menyentuh lantai. Langit-langit dipenuhi sulur air bewarna oranye, bertahun-tahun triplek loteng yang mengelupas dibiarkan tak diganti yang baru. Betul kata Ace, cat dindingnya mirip panu, bercak-bercak aneh dan menjijikkan memenuhi ke empat tembok. Dan pengap sekali. Udara panas terperangkap, berputar-putar mencari udara pengganti yang tak kunjung datang. Entah siapa makhluk kejam yang menutup kedua jendela dan pintu rapat-rapat.