Faktanya, Ibrahim itu baik. Ia tidak jahat hanya salah jalan. Begitu Jeshua Santana bilang pada semua orang di terminal jika hendak tahu seperti apa Ibrahim Ansori itu sebenarnya. Sebagai rekan kerja, kawan sepenanggungan, ia merasa lebih tahu dari siapa saja tentang masa lalu temannya itu.
"Kapan pertama kali kau bertemu si Baim?" tanya seorang kuli angkut pada suatu hari yang banjir.
"Cukup sekali itu kau menyebutnya Baim kalau tak ingin kepalamu melayang ke kali. Ia tak pernah suka nama itu." kata Jeshua sembari mengelus bulu Mawar, kucing kampung peliharannya.
Si kuli menelan liur sambil meraba-raba lehernya sendiri karena ia tahu, Ibrahim selalu membawa badik kesayangannya kemana-mana, walaupun sekarang sudah jarang terlihat. "Apa dengan badik itu ia selalu menebas kepala musuh-musuhnya?" Ia kembali bertanya.
"Tidak. Terkadang dengan arit, sesekali pakai pacul."
Jeshua menikmati ketakutan yang menguar dari si kuli yang seperti bisa melihat segerombol malaikat maut dalam perjalanan menuju terminal, meminta hutang nyawa kepada manusia.
"Tapi kau berbeda dengannya, kau...lumayan." Si lelaki mencoba mencari muka berharap Jeshua mau menjadi kawannya.
"Lumayan? Salah. Aku maha baik. Kau pikir kenapa ibuku memberikanku nama ini?"
"Entah. Berharap kau menjadi Tuhan?"
"Bukan. Ibuku ingin aku menjadi manusia maha baik."
"Tapi kau bukan."
"Siapa bilang tidak?"
Lelaki ini pembunuh. Dulu saat kerusuhan melanda kampung halamannya di timur sana, ia baru 15 tahun tapi tangannya sudah fasih mengayunkan golok memenggal kepala orang, menombak janin perempuan hamil dan membakar manusia hidup-hidup. Tak lama rombongan tentara datang dengan sebuah kapal besar pemecah ombak. Jeshua dan kelompoknya melarikan ke dalam hutan, mereka diburu hidup atau pun mati. Para perusuh bertahan dengan apapun yang ada di sana, sampai akhirnya diselundupkan ke Tanah Jawa, memulai hidup baru sebagai bajingan dan debt collector.
Jeshua melunta-lunta cukup lama di Surabaya sebelum direkrut seorang supir bus tujuan Jakarta sebagai kenek. Ia akhirnya melarikan diri dari si supir bus, meninggalkannya mati dengan dua puluh tikaman dan leher setengah putus setelah percobaan sodomi yang gagal. Lima tahun berselang bertemulah dirinya dengan Ibrahim, residivis kambuhan yang baru keluar dari penjara. Jeshua tidak minta diangkat sebagai murid dan Ibrahim juga tak ingin menjadi gurunya. Hubungan keduanya lebih cocok disebut sebagai kongsi, dimana hasil selalu dibagi rata dan semua hati bergembira. Tidak boleh curang ataupun mengurangi bagian sebagai bentuk kasih sayang, karena diantara keduanya memang enggan berkasih sayang.
Jika Ibrahim menghabiskan sebagian besar uang darahnya untuk membeli arak dan menyewa perempuan, Jeshua lebih memilih untuk membeli barang. Barang yang tidak akan disangka akan dikoleksi seorang kriminal macam dirinya. Boneka kucing dan mainan salju dalam kaca. Ketika ditanya apa alasannya bertingkah seperti seorang pedofilia, ia pun jawab, kau pikir ini untuk iming-iming bocah kecil. Inilah yang disebut dengan hobi layaknya mereka yang gemar filateli, koin kuno atau batu akik. Lagipula, salju-salju ini membantuku untuk mendinginkan kepala saat hasrat untuk menghabisi seseorang sedang menggebu.
"Itu bukan salju asli. Ini negara tropis," kata Ibrahim saat mereka duduk-duduk menghabiskan bir dingin di sebuah warung dalam terminal.
"Tak usah sok tahu. Kau tahu kalau burung bermigrasi."
"Jadi menurutmu, salju juga bermigrasi? Kau taik sinting."
"Bukan, burung yang membawanya," ujar Jeshua sembari mengelap benda bulat itu dengan bajunya dan terpaan nafas.