Syah Bawazier Arifuddin, si ikal berkulit kecokelatan hasil terpanggang matahari saat berenang dan bermain bersama karib di sepanjang tepian pantai Losari. Pendidikan agama bagi ayahnya adalah yang nomor satu, mengantarkan Bawazier menimba ilmu mantiq, ushul fiqh, tasawwuf, nahwu shorof, tauhid, bahasa arab dan akhlak, bertahun-tahun lamanya di salah satu pesantren tradisional di ujung pulau Sulawesi; sampai ia menamatkan pendidikan dan tak tahu apa yang musti diperbuatnya untuk hidup. Maka jadilah ia berdakwah masuk kampung keluar kampung, menyampaikan yang baik dan sekaligus apa yang dilaknat Tuhan kepada orang-orang yang mau mendengarkannya. Tak lama ia pun berbini dengan saudara jauh dari pihak ayah, dijodohkan pada sebuah petang berhujan dimana semua makhluk hidup tengah memasuki musim kawin.
Ia mulai menapaki jenjang karir sebagai ustad. Awalnya hanya surau yang memanggilnya, tak lama masjid raya kabupaten memintanya mengisi khutbah jumat dimana ada Pak Bupati beserta wakilnya di barisan depan shaf. Nasib baik menghampiri, derajat keluarga naik sedikit demi sedikit. Awal berumah tangga, suami isteri ini hanya bisa menumpang pada bilik belakang rumah keluarganya, setelah uang terkumpul dibuatlah rumah kayu sederhana di samping rumah utama dan di sanalah si sulung Arsyil lahir. Tak lama ia mulai menjadi imam tetap di masjid raya kabupaten, dibayar mahal dan ditambah-tambah uangnya oleh donatur yang minta didoakan berumur panjang dan murah rezeki. Rumah kayu berganti rumah batu, malah dipasangi parabola beserta televisi, di rumah itu si tengah Naima diayun-ayunkan ibunya dalam buaian bambu.
Pada hari kamis yang panas, ia didatangi Pak Lurah yang membawa kabar menggembirakan. Sekiranya, Bawazier yang terkenal akan kajian agamanya yang rada konyol sudah terkenal ke seantero nusantara. Maka dari itulah TVRI memintanya ke Jakarta untuk mengisi ceramah subuh di studio ber-AC. Isterinya bilang dimana ada batang kayu, di sana ada cendawan tumbuh, maksudnya kira-kira dimana pun berada, selalu ada rezeki. Terpesona dengan keikhlasan hati isterinya yang rela mengikutinya kemana pun ada cendawan tumbuh, Bawazier pun akhirnya mengepak baju dalam dua koper hitam, satu tas besar dan dua kardus berisi sirup DHT, sirup markisa dan Kopi Toraja, oleh-oleh untuk kerabat yang akan menampung mereka sementara di ibu kota.
Hidup di Jakarta itu keras? Ya. Tapi, bagi Bawazier dan isterinya yang teguh berjalan di jalan Tuhan, hanya memakan haknya saja serta selalu bersedekah dan bermanfaat bagi orang lain, mengantarkannya dalam kesuksesan duniawi yang sah sifatnya. Satu rumah berlantai dua di Muara Jati, berhektar-hektar sawah di kampung, petak-petak ladang di Sukabumi serta pendidikan anak-anaknya yang selesai hingga perguruan tinggi. Haji Bawazier menikmati masa pensiun penuh damai dengan isterinya dan si bungsu Hajar yang kini menjadi guru SMP. Setiap pagi, setelah tak lagi mengisi ceramah subuh di televisi, tubuh tuanya masih sanggup berjalan sejauh 15 meter ke mushala Al-Mukhlisin yang dibangun dari hasil kerja kerasnya, membangunkan warga yang masih terlelap dengan suara azan-nya yang merdu.
Hidup senang saat tua tak menjamin kau akan setenang yang diharap-harapkan. Selain duduk-duduk di atas kursi goyang ditemani kopi hitam buatan isterinya, Haji Bawazier terlalu malas mengangkat bokongnya untuk melakukan hal lain yang bermanfaat dan menguras keringat. Umur yang sudah menua ditambah kerja hanya leha-leha saja, tak pelak penyakit ambein pun bersarang di sekitaran lubang pembuangannya, sudah dioperasi, satu kali, tapi daging kecil lunak itu tetap muncul seiring tak berubahnya sifat malas berolahraganya.
Maka dari itu, nama Bawazier diganti warga yang suka bercanda dengan Bawasir, bawah kena wasir.
*******************************
Hidup itu keras, dan akan makin terasa jika kau bodoh.
Itu kata Ibrahim saat berjalan di sisinya menyusuri jalan raya hendak menuju super market yang terletak di seberang jalan. Jora bersikeras ingin membuat es krim guna dijualnya di warung Ben, karena ia butuh uang untuk membayar sekolah yang jatuh tempo awal tahun ini. Ben bilang ia tak punya uang, Ibrahim sebut ia punya uang kalau Jora mau menerima hasil rampokan.