Kata orang menjadi tentara itu adalah persoalan nyawa dan nasi. Apa maksudnya demikian. Kau mendaftarkan namamu menjadi abdi negara berarti kau menandatangani kontrak untuk mati. Pergi berperang untuk mempertahankan kedaulatan republik kemudian dibayar dengan sekarung beras dan uang se-amplop. Tapi tentu tak sesederhana itu, ada sikap kesatria dalam diri seorang tentara yang menganggap kalau ia punya hutang nyawa pada ibu pertiwi tempat dimana ia dilahirkan. Kalau Johan ditanya kenapa ia menjadi tentara, jawabannya bukanlah karena Yatim Ansori mantan tentara, sebagaimana semua anak tentara juga menjadi tentara. Menjadi tentara adalah bentuk pelarian yang tepat untuknya, menjauh dari rumah berwarung 3 kali 3 meter dan berpetualang ke seantero negeri untuk menembaki para bajingan tukang teror.
Sejak resmi berpindah dari sipil ke militer, bisa dihitung dengan jari Johan pulang ke rumah yang enggan disebutnya rumah karena buatnya memang bukan. Terlalu banyak kenangan tak menyenangkan disana. Ayah keparat, ibu yang sering membuat amarahnya meledak karena acuh tak acuh serta saudara-saudara pembuat onar.
"Apa kau lupa kalau kau dulu senang berkelahi, melebihi bocah yang lain," tegur Hasan Sadikin, polisi tua hampir pensiun yang tinggal tiga rumah dari rumahnya. Saat itu, ia dan si polisi baru saja melerai perkelahian di lapangan bola kampung dan Ace salah satu yang ngamuk itu. Johan menenteng adiknya di baju dan memberinya satu bogem mentah langsung di lambung. Sang adik muntah-muntah dan tak sanggup berdiri, kalau tak di tahan si polisi Hasan, mungkin tengkorak Ace sudah hancur dihantam kakinya.
"Ya, dan aku tak lupa waktu kau pukuli dan mengancam akan memasukkanku ke penjara."
"Karena itu, syukuri nasibmu baikmu sekarang dan berhenti menganiaya Ace."
Johan menatap adiknya yang terduduk lemas di bawah batang jambu klutuk yang dahan dan daunnya renggang-renggang, tak rapat dan membiarkan matahari menyebarkan panas sesukanya.
"Aku tak ingin dia seperti yang lain, masuk penjara dan dilabeli mantan narapidana."
Si polisi Hasan mengangguk mengerti. Sedikit banyaknya ia tahu betapa sulitnya hidup kakak beradik Ansori. Yatim Ansori jelas makhluk celaka, Karina lebih celaka lagi. Jika Yatim menghajar anak-anaknya dengan kepalan tangan dan ayunan kaki, sang isteri membuat luka itu bertambah pedih dengan keterdiamannya. Kelima bujang tumbuh liar tanpa dimodali sopan santun dan pendidikan akhlak yang cukup oleh orangtua. Mereka melakukan apa yang hendak ingin mereka perbuat dan berkata apa yang ingin mereka katakan. Hasan Sadikin masih mengingat Ace meneriakinya keparat saat si bocah yang pada waktu itu masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, hanya karena tak senang ditegur tak pakai dasi di seragamnya. Semua anak Ansori pencari masalah nomor satu di kampung mereka. Dimana ada perkelahian di sana, paling tidak, pasti ada satu Ansori. Tak terkecuali Johan Ansori. Sekarang boleh saja lelaki itu berseragam tentara, dulu ia paling sering digebuk tentara dalam markas Koramil yang sempit setelah diangkut dari arena tawuran.
Dan sore ini, Johan mendapati satu lagi saudaranya remuk dipukuli.
"Tak mungkin kau berantem?" tanya Johan penuh selidik.
"Memang. Mustahil." Miro setuju
"Jelas bukan perkelahian, dia dipukul tanpa perlawanan," Ace pura-pura meringis sebagai bentuk ejekan.
Ben datang dengan bungkusan di tangan. "Bersihkan lukamu, jangan sampai uangku keluar untuk membawamu ke bidan."
Jora menyedot ingus dan mengelap matanya yang berair. Ada beberapa baret di tangannya, tukak yang menganga di sikunya dikerubungi lalar, darah belum jua mengering. Ada sobekan kecil di sudut bibir, pelipisnya hijau kebiruan dan Ben yakin di balik seragamnya warna itu lebih banyak lagi.
"Sial sekali kau cuma adik prajurit rendah, coba kalau Johan itu jenderal, satu batalyon langsung serbu itu sekolah, cari-cari si tukang gebuk." Ace tertawa dan masih tertawa saat kepalanya dipukul.
![](https://img.wattpad.com/cover/70327684-288-k875902.jpg)