Semangkok Bakso Persahabatan

9.8K 490 226
                                    

PERSAHABATAN dapat terjalin dalam berbagai cara. Bahkan jika itu adalah cara yang paling aneh sekalipun, atas nama persahabatan itu tetap dilegalkan. Dan apa yang akan terjadi beberapa saat lagi akan menjadi bukti bahwa persahabatan dapat terjalin dalam situasi baik ataupun buruk, normal ataupun aneh.

Saat itu, di kantin SD yang akan menjadi tempat di mana cerita ini dimulai, di salah satu meja dua anak laki-laki tengah menyantap semangkok bakso. Ada perbedaan yang kentara sekali di antara mereka pada saat itu, meskipun pada dasarnya mereka berada dalam situasi yang sama: Hari pertama masuk SD.

Sementara anak yang di sebelahnya mengunyah baksonya dengan tersedu-sedu, Doni dengan percaya diri tampak sangat menikmati setiap suapan yang masuk ke dalam mulutnya. Dia anak yang cenderung gampang bergaul, tak pernah pilih-pilih teman. Bahkan dia sering main lompat tali sama anak perempuan di kompleks tanpa harus jadi tersesat dalam menentukan jenis kelamin-nya.

Beberapa waktu yang lalu dia juga sempat menyapa anak kelas tiga, "Apa kabar, Coy? Tadi pagi minum susu, kan?"

"Ha?" kata anak kelas tiga yang disapa, heran.

"Susu bubuk, susu cair, atau susu kental manis, Bro?" tanya Doni sok asyik.

Anak kelas tiga itu pun lari. Mungkin menanyakan jenis susu yang dikonsumsi adalah topik yang cukup tabu bagi umur-umur anak SD. Atau mungkin Doni sudah bergaul dengan cara yang salah...

Anak laki-laki di sebelah Doni masih menangis. Entah sudah berapa banyak air matanya masuk ke dalam mangkok baksonya, sebelum akhirnya tersentak ketika bel masuk berdering. Dia memandang berkeliling, mengamati murid-murid yang berlarian ke dalam kelas. Sesaat dia tampak hendak melakukan apa yang dilakukan kebanyakan murid, tetapi ketika kesadarannya kembali, ketika kekagetannya sirna, ingatan tentang rumah kembali terngiang dan dia pun kembali duduk. Dia terlalu sedih untuk berdiri kembali, terlalu sedih untuk menghadapi agenda kelas yang terasa mengerikan baginya. Sama halnya dengan Doni, yang ternyata memilih untuk diam di tempat seraya menyantap semangkok baksonya yang tak kunjung habis, namun dengan wajah yang cerah serta alasan yang jelas berbeda.

Sebenarnya hal ini sudah Doni pertimbangkan sejak tadi. Sejak awal datangnya waktu istirahat sebenarnya dia sudah membuat rangkaian kegiatannya sendiri. Dia sudah punya rencana yang akan terlaksana persis ketika mangkok baksonya kosong, dan sebentar lagi, tepatnya tak lebih dari lima suap, dia akan berdiri. Dia sangat yakin bahwa satu-satunya kegiatan yang akan dia lakukan di kelas adalah perkenalan, seperti beberapa jam yang lalu, dan baginya itu tidaklah lebih baik ketimbang menelusuri setiap jengkal halaman sekolah, ataupun melewati koridor sendirian dan kemudian tersesat, lalu panik.

Saking semangatnya memikirkan apa-apa saja yang akan dia lakukan setelah mangkok baksonya habis, Doni menambahkan sesendok penuh cabe rawit meskipun sebelumnya dia sudah menaruh satu sendok penuh cabe rawit ke dalam mangkok baksonya. Saking sedihnya memikirkan waktu pulang yang masih sangat lama, anak laki-laki yang duduk di sebelah Doni mengunyah baksonya perlahan-lahan, lalu semakin pelan dan lebih pelan lagi. Sesungguhnya dia seperti halnya kebanyakan anak kecil yang tak siap menghadapi lingkungan sekolah, namun lebih melankolis.

Doni menatap mangkok baksonya. Sebentar lagi... tinggal tiga suap lagi dan petualangan besarnya bisa dimulai... peduli amat dengan acara perkenalan antara murid baru. Toh nanti mereka juga akan kenal sendiri seiring berjalannya waktu. Saat ini ada petualangan besar yang sedang menunggu, dan dia sudah tak sabar untuk...

"Dia kenapa? Kamu apain dia?" tanya mamang bakso, yang mendadak muncul dengan tampang setengah panik.

Doni pasti sangat bingung jika saja tak menoleh ke samping, dan terkejut menyaksikan apa yang terjadi pada anak laki-laki di sampingnya. Doni hampir pasti tak pernah melihat pemandangan seperti ini. Dia sangat kaget. Dia kaget mengetahui kalau ternyata seseorang sedang kejang-kejang sementara dia asyik dalam pikirannya sendiri.

"Kamu ngasih racun, ya? Iya, kan!" tuduh mamang bakso, menunjuk mangkok bakso anak laki-laki yang kejang-kejang. "Ngaku!"

Bukan salah siapa-siapa kalau tak ada yang sadar bahwa anak laki-laki yang kejang itu sebenarnya kesurupan. Wajahnya lebih mirip orang keracunan daripada kesurupan.

"Saya gak ngelakuin apa-apa," kata Doni, memandang heran anak laki-laki di sampingnya. Anehnya anak laki-laki itu menatap balik, meski kepalanya godek-godek.

"Lihat, kan! Kamu lihat kan tatapan matanya!" kata mamang bakso, yakin. "Anak ini mulutnya emang gak bisa dipake... tapi matanya masih bisa menunjukkan siapa pelakunya. Dan pelakunya adalah..."

Tiba-tiba anak laki-laki di samping Doni menatap mamang bakso. Kepalanya masih godek-godek.

"Harusnya saya sadar sejak tadi," ujar mamang bakso serius. "Ini lebih serius dari dugaan saya..." Dia berputar-putar di tempat, matanya menyipit tajam memperhatikan Doni. "Racun yang kamu gunakan memberikan efek halusinasi dan membuat hilangnya kontrol diri. Dalam hal ini kita tidak bisa mempercayai gerakan tubuh korban... racun jenis apa yang kamu gunakan? Ngaku!"

"Saya gak ngelakuin apa-apa," jawab Doni ogah-ogahan. Dia masih terlalu kecil untuk memahami tuduhan dari mamang bakso. Yang dia tahu adalah dia harus segera pergi. Terserah mau itu di kelas atau di luar kelas, yang pasti bukan di kantin.

"Jadi kamu nuduh saya? Jadi kamu mau nuduh kalau saya yang ngeracunin? Maksud kamu bakso bikinan saya beracun? Asal kamu tau, saya sudah lama banget gak pake yang namanya 'formalin'! Dan sudah enam bulan semenjak terakhir saya pake daging tikus! Saya pake daging ayam sekarang. Da-ging a-yam!"

Doni memandang ngeri kepada mamang bakso.

"Jadi... ada banyak yang harus kamu jelasin," desis mamang bakso dengan nada mengancam, matanya menyipit tajam dari seberang meja, "terutama sama orang tua anak ini..."

Persis ketika mamang bakso menunjuk anak laki-laki di samping Doni, tiba-tiba anak laki-laki itu menepuk bagian pinggir mangkok baksonya dan tumpah mengenai wajahnya. Doni panik, buru-buru dia menyeka wajah anak laki-laki itu dengan tangannya dan, ajaibnya...

"Kamu harus jelasin sama orang tua anak ini, kenapa anaknya bisa... sembuh. Kamu gak ngeracunin dia..."

Mamang bakso nyengir, kemudian pergi.

"B-b-bakso... b-baksonya," rengek anak laki-laki di samping Doni, menunjuk mangkok baksonya yang kosong.

Doni menghela napas panjang. Tangan gemuknya menyodorkan mangkok baksonya ke samping, tepat ke arah anak laki-laki di sampingnya. Dia tersenyum saat mangkok baksonya diterima.

"P-p-pedas," kata anak laki-laki di samping Doni. Dia menangis.

"Tadi pake cabe rawit," balas Doni seraya terkekeh, "dua sendok penuh."

Dan sejak saat itu sesuatu yang baru dimulai. Mereka tidak tahu bahwa takdir akan mengikat mereka lebih erat dari yang bisa dibayangkan, bahkan oleh seorang pengkhayal sekalipun. Dan Doni tak sadar kalau yang dia tawarkan bukanlah semangkok bakso, ataupun semangkok sisa bakso, melainkan persahabatan.


Berhubung cerita ini sudah lama beredar dalam kondisi tamat dan demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, dengan berat hati mulai chapter berikutnya saya private. :)  

KESURUPAN (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang