LA. 4

4.2K 339 4
                                    

Calistia POV

Pagi harinya aku sudah berpakaian rapi dan sarapan. Kemeja putih, dasi kuning, rok berwarna hitam-kuning selutut bermotif kotak-kotak, dan blazer berwarna hitam. Benar-benar seragam orang kaya. Ketika melirik jam, angka menujukkan pukul 07.15 pagi.

"Masih terlalu awal berangkat", pikirku

Bel masuk berbunyi pukul 8 pagi. Aku juga tidak ingin terburu-buru berangkat. Semalam aku berusaha menenangkan diri sehingga tidak merasa gugup sekarang. Usahaku tidak sia-sia!

Jam pelajaran pertama mengenai pengendalian sihir, dilanjutkan dengan etika pertarungan, dan yang terakhir menjinakkan hewan sihir. Entah aku terlalu bersemangat di hari pertamaku ini.

Setengah jam kemudian aku sudah siap berangkat. Menyusuri lorong-lorong yang telah kupelajari melalui peta sekolah. Sebelum memasuki lorong terakhir bel masuk sudah berbunyi. Dari kejauhan terlihat seorang guru telah masuk ke kelas itu. Segera kupercepat jalanku. Setelah mengetuk pintu, aku pun masuk ke dalam kelas. Kelas itu sangat ramai. Mungkin ada 30 orang. Mereka memandangiku dengan sorot penasaran. Suara guru di depan yang akhirnya mengalihkan perhatianku.

"Sepertinya kita kedatangan murid baru," ujarnya sambil tersenyum.

Spontan mulutku terbuka. Di sana berdiri Mr. Thomas. Menggunakan kemeja putih, celana panjang hitam, dan jubah berwarna hitam.  Ah, ternyata Mr. Thomas guru disini. Cepat-cepat kukembalikan ekspresiku.

"Ah, maaf Profesor, saya terlambat," jawabku terbata-bata.

"Tidak apa-apa. Sekarang maju dan perkenalkan dirimu."

"Um, halo semuanya. Perkenalkan namaku Calistia Evelyn. Aku harap kita bisa jadi teman baik. Salam kenal,"

"Oke, perkenalan yang bagus. Sekarang kamu boleh duduk," ucap Mr. Thomas ramah.

Aku berjalan menuju undakan. Tinggal satu kursi yang kosong disana, terletak dibelakang. Setelah duduk, gadis yang duduk disamping menyapaku.

"Hai, Calistia. Aku Luna. Kamu anak penerima beasiswa itu, kan?"

"Iya, memangnya kenapa?"

"Bukan apa-apa. Dari kabar yang terdengar tes yang dilakukan cukup sulit. Kemampuanmu pasti di atas rata-rata."

"Tidak juga. Kurasa itu bukan hal yang luar biasa", jawabku sekenanya. Suara Mr. Thomas mengalihan perhatianku.

"Baik anak-anak. Sekarang saya akan mengundi partner untuk kalian. Partner ini berlaku selama satu tahun pelajaran dan berlaku dalam pelajaran lainnya. Saya sudah mendiskusikan dengan guru yang lain guna mempererat kerjasama tim. Satu persatu murid maju mengambil undian dari kotak ini," ucap Mr. Thomas panjang lebar.

Akhirnya satu persatu murid mengambil undian di dalam kotak. Aku juga sudah mendapat nomor undian.

"Calis, kamu dapat undian nomor berapa?"

"13. Kamu?"

"Yah, aku nomor 24. Sayang sekali. Padahal aku ingin berada di tim yang sama denganmu," ucap Luna mendramatisir.

"Hahaha, kamu ada-ada saj--"

"Kau nomor 13?"

"Apa?"

"Aku bilang kau nomor undian 13?"

Aku yang ditanya tidak bisa menjawab. Lelaki ini tampan sekali, pikirku. Dengan tubuh yang sangat jangkung membuatku harus mendongak untuk menatapnya. Wajahnya menyiratkan ketegasan, dengan bola matanya yang berwarna hitam, membuat perhatianku terhisap kepadanya. Tunggu. Warna matanya bukan hitam melainkan biru tua. Aroma cologne yang menguar dari tubuhnya yang lumayan berotot itu membuatku mabuk kepayang.

Oke itu sangat-sangat berlebihan, pikirku. Dia memang pria yang tampan dan wangi tapi tetap saja, dari nada suaranya yang menyiratkan kejengkelan membuatku mencoret semua pujian yang ada dipikiranku.

Dengan nada tidak kalah jengkel aku membalas ucapannya, "Bukan. Aku bukan nomor 13. Kamu salah orang." Hah! Rasakan. Biar saja dia berputar-putar mencari orang nomor undian 13. Salah sendiri bertanya sambil marah-marah begitu. Kalau ditanya baik-baik aku juga...

Arrgh!! Sudahlah, biarkan saja, batinku. Tarik napas.. hembuskan... tarik nap-

"Loh? Calis, bukannya kamu nomor 13?" tanya Luna polos. Ya, ampun. Aku lupa kalau Luna masih ada disampingku.

Tiba-tiba lelaki itu tersenyum. Bukan, itu bukan senyuman. Tapi seringai. Oh ya ampun! Mengapa Tuhan begitu tidak adil? Bahkan sekarang dia terlihat semakin tampan dan seksi. Wait, pikirku. Apa aku baru saja berkata kalau dia seksi? Tiba-tiba pipiku terasa panas. Ya Tuhan, pikiranku yang masih polos telah tercemar. Dan itu semua karena lelaki tampan ini.

"Well, sepertinya apa yang kau rencanakan di kepala cantikmu tidak berjalan sesuai rencana, nona," jawab lelaki itu membuatku semakin merona. Bahkan lidahku terasa kelu untuk bicara.

"Calistia kamu kenapa? Wajahmu memerah. Apa kamu sakit?" tanya Luna khawatir. Ampun, sekarang Luna malah membuat suasana semakin keruh, pikirku frustasi. Akhirnya setelah berusaha mengendalikan diri aku mulai bicara kepada lelaki itu.

"Oke, sebaiknya kita tidak perlu membuat semua menjadi semakin rumit. Kamu bertanya apa aku nomor undian 13? Ya, aku orangnya." jawabku tenang. Wow, rekor terbaru dalam pengendalian emosi, pikirku.

"Sebenarnya perlu diluruskan bukan aku yang membuat semuanya jadi rumit. Tapi itu buka masalah. Berarti sekarang kita adalah partner. Perkenalkan namaku Regard Darius. Aku harap hal seperti "tadi" tidak akan terjadi lagi dan semoga kita bisa bekerja sama dengan baik. Oh ya, kau belum menyebutkan namamu," jawab Darius panjang lebar.

"Eh? Oh, perkenalkan namaku Calistia Evelyn. Senang bertemu denganmu. Aku juga berharap kita akan menjadi tim yang kompak. Oh, dan aku murid baru disini," jawabku kalem.

"Ya, aku tahu. Kau tidak perlu mengatakannya. Seluruh sekolah ini juga tahu kalau kau murid baru," jawabnya blakblakan. Aku merasakan kembali panas dipipiku. Yang menanyakan namaku tadi siapa sialan, pikirku. "Sepertinya kita bisa duduk kembali. Murid yang lain sudah menemukan partnernya. Kau sebaiknya duduk di tempatku saja karena kau masih baru," tambahnya panjang lebar. Aku yang belum terlalu mengerti hanya mengikuti dia saja.

Sesampainya di bangku yang Darius maksud, wajahku langsung pucat pasi. Mengapa semua orang yang berada di barisan itu ber-aura menyeramkan. Mereka semua menggunakan pakaian yang sama denganku, hanya saja warna pakaian mereka serba hitamsedangkan pakaianku berwarna kuning cerah. Suram amat, pikirku, seperti mengunjungi pemakaman saja dengan warna pakaian sepertu itu.

"Ada apa?" Darius bertanya dengan wajah kebingungan.

"Tidak apa-apa."

Setelah itu kami menuju bangku yang dimaksud Darius. Terasa aneh dengan pakaian yang aku kenakan. Apalagi melihat tatapan kebingungan dari murid-murid lain. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak ambil pusing. Mr. Thomas kembali melanjutkan pembelajaran karena semua murid telah mendapat partnernya.

"Baik anak-anak karena semua sudah mendapat parternya masing-masing, kalian bisa mulai melatih kekompakan dalam tim kalian masing-masing. Setiap penyihir memiliki kelebihan dan kekurangan dalam mengendalikan sihir, khususnya dalam bertarung. Jadi saya harap dengan dibentuknya tim ini kalian dapat menutupi kelemahan kalian masing-masing.

"Baiklah, saya rasa penjelasan saya sudah cukup. Mulai hari ini kalian akan berlatih mengendalikan sihir kalian masing-masing bersama partner kalian. Dan karena Mrs. Elisa berhalangan hadir hari ini, maka kalian akan berlatih bersama partner kalian hingga jam etika pertarungan selesai. Oke sekarang kalian bisa mulai berlatih di lapangan. Selamat berlatih," jelas Mr. Thomas panjang lebar.

"Terima kasih Profesor," jawab kami serempak.

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆



Sabtu, 30 April 2016

Lichtwood AcademyWhere stories live. Discover now