20 "The Strom Is Back"

4.4K 230 3
                                    

"Love can touch us one time, and last for a life time." - Celine Dion.

Di tempat tubuh ini berbaring, di atas kasur sempit, di dalam rumah pohon, ku lihat lewat jendela indahnya pemandangan langit malam. Bintang-bintang menghiasi kegelapan langit, bulan penuh tampak bagai bohlam yang menyala terang. Suara-suara alam begitu menenangkan di malam yang dingin ini. Tidak terasa begitu dingin, ada Rio di sampingku yang telah tertidur pulas di atas dadaku.

Aku berpikir, apakah yang dikatakan Rio itu benar akan terjadi? Apa benar dia akan pergi untuk selamanya meninggalkan dunia ini? Harapan ku tidak. Rio masih harus hidup, hingga lulus kuliah, melanjutkan sekolahnya di Australia. Atau mungkin dia akan berada di sampingku selamanya. Mungkin, aku akan mendonorkan separuh ginjalku untuknya. Tapi, takutnya lupus menghancurkan ginjal yang ku donorkan jika sudah ditransplantasi. Apapun itu, aku berharap Rio akan selalu ada.

Memikirkan hal bahwa Rio meninggal membuatku takut dan segera memeluk Rio begitu eratnya. "Stay. Stay here, with me, forever." Bisiku setelah mencium kening Rio. "I can't live if living here without you. I can't." Lanjutku. Tak terasa air mata keluar.

"You're here, there's nothing i fear." Isakku. Lagi-lagi ku cium keningnya. "Stay in my arms, forever." Terakhir, ku cium lama sekali keningnya. Setelah itu, ku usap air mata yang mengalir.

Tubuh Rio gemetar. Rio terbangun. Ia menatapku dan memelukku. "Sorry, i make you wake." Ucapku.

"Dingin." Bisiknya.

Segera aku menarik selimut untuk menutup tubuhnya. Tadinya selimut hanya menutup setengah tubuhnya. "Kamu pake baju kamu ya? Situasi kamu begini, malah tidur telanjang." Ucapku.

"No, thanks." Jawabnya.

"Yaudah, pake sweter ya? Aku enggak mau kamu sakit lagi."

Hening sementara.
Kemudian ku rasakan Rio mengangguk.

Aku beranjak duduk, ku raih sweter Rio dan ku pakaikan. "Here." Kataku saat memakaikan sweternya. Kemudian kami kembali berbaring dibalut selimut tebal hangat. Rio berbaring menyandarkan kepalanya ke dadaku.

**

Aku terbangun oleh hangatnya mentari pagi yang menerpa wajah. Sedikit kaget sangat sadar Rio tidak ada di sampingku. Ternyata, ia sedang duduk manis membaca sebuah novel. Dari sampulnya, terlihat novel itu adalah sekuel dari Love Affair.

"Hei, kutu buku!" Sapaku.

Ia menutup bukunya. "Sangat pas sekali, aku baru saja selesai menbaca chapter terakhir dari Love Affair ini." Ucapnya, kemudian bangkit dan menyimpan buku itu di rak buku dekatnya. "Aku sungguh berharap akan ada trilogy nya." Lanjutnya sembari mendekat ke arahku, menyambar bibirku oleh dingin bibirnya.

"So, gimana sekuel Love Affair?" Tanyaku setelah kami berhenti bercium, namun tubuh Rio masih berada di pangkuanku. Kedua lengannya melingkar di leherku.

"Keren. Sedih juga sih." Jawabnya singkat, kemudian kembali menciumku.

"Dari jam berapa kau membaca novel itu?" Tanyaku lagi.

"Entah. Mungkin jam 4 pagi tadi." Ia kembali menciumku.

"That novel make you horny or what?" Tanyaku sembari tertawa kecil, begitu pula Rio, dan ia kembali menyambar bibir ini.

Dering handphone menghentikan kami yang sedang nikmat beradu bibir. Handphone yang berdering adalah handphone milik Rio yang tergeletak di kasur di sampingku. Rio meraihnya dan mendapati telepon dari Mamanya.

"Aku ada di rumah pohon, bun. Iya. Iya, aku kesana sekarang."

Telpon berakhir.

"Bunda nelpon, katanya sarapan pagi. Yuk." Ajaknya sembari beranjak dan memakai baju miliknya sendiri. Kemudian aku juga meraih semua pakaian dan memakainya.

Udara pagi ini lebih terasa nikmatnya saat kami keluar dari rumah pohon. Bergandengan sembari tertawa kecil melewati rerumputan dan ilalang, dan sampailah kami di rumah Rio, kami langsung menuju ruang makan.

"Hei kalian. Kemarin tidur di rumah pohon?" Sapa Tante Sarah saat kami sampai di sana.

"Kenapa enggak di dalem rumah aja?" Tanya Om Rizal.

"Enggak, yah, kemarin aku kedinginan, enggak kuat jalan juga, jadi tidur di rumah pohon aja." Jawab Rio polosnya.

"Gimana Rio naik ke atas rumah pohon?" Bu Sarah terlihat kebingungan.

"Saya menggendongnya." Ucapku langsung tanpa pikir panjang.

Kami sarapan dengan menu pancakes buatan Tante Sarah. Untuk meminimalisir keheningan dan kecanggungan, Om Rizal dan Tante Sarah menanyakan beberapa pertanyaan seperti tentang sekolah, kesehariaan dan pertanyaan lain bersifat personal yang bisa ku jawab dengan mudah.

Namun kemudian, kami yang sedang asyik mengobrol terkaget melihat Rio yang berada di sampingku yang tiba-tiba sesak, memegang dadanya. Aku yang kaget segera meraih Rio yang terjatuh ke arahku. Tante Sarah dan Om Rizal panik bukan kepalang melihat ini semua. Aku berbisik pada Rio untuk bertahan dan bertahan. Ku lihat Tante Sarah meraih telpon rumah menelpon rumah sakit untuk mendatangkan ambulance. Sayangnya, Tante Sarah kembali mendekati kami dengan wajah kecewa bahwa semua ambulan sedang membawa korban tabrakan di daerah tol dan beberapa daerah lain yang terjadi longsor.

Hal itu membuatku emosi dan berteriak kata kotor pada rumah sakit. Setelah itu, Om Rizal dan aku mengangkat tubuh Rio menuju mobil pribadi Om Rizal.

Tubuh Rio dibaringkan di jok belakang di temani olehku. Kepalanya bersandar di pahaku. Dengan segera, Om Rizal menstater dan menyetir mobilnya dengan cepat.

Kami panik, sangat panik. Saat ku usap rambut Rio, aku tambah panik. Rambutnya rontok. Ku beritahu pada Om Rizal dan Tante sarah yang berada di jok depan. Mereka makin panik, sama sepertiku. Suara sesak Rio membuat jantungku berdebar kencang sekali. Ketakutan benar-benar menguasaiku kali ini. Belum pernah aku melihat hal seperti ini. Belum pernah aku melihat orang yang ku sayangi terlihat begitu kesakitan menahan dadanya dan rasa sesaknya bisa ku rasakan.

Sesampainya di rumah sakit, beberapa suster dan paramedis lainnya segera membawa ranjang dan tabung oksigen. Rio berbaring di atas ranjang, di bawanya tubuh dia ke ruangan gawat darurat dan kami hanya diperbolehkan menunggu di luar ruangan dengan rasa cemas yang teramat dalam.

**

Dua jam lebih kami menunggu di luar. Dan belum juga keluar dokter yang menangani Rio. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, "Apa lagi yang terjadi pada Rio?" "Apa lupus menyerang organ lainnya di tubuh Rio?" "Sialan! Sialan!"

Hatiku cemas tak karuan. Aku takut, ya, itulah poin pentingnya. Aku takut. Apa yang aku takutkan? Kehilangan, itulah jawabannya.

Tatkala aku berperang dengan rasa cemas dan rasa takutku, Dokter keluar dari ruangan Rio.

Dia menjelaskan segalanya, lagi-lagi penyakit itu menghambat jalur masuk oksigen. Selain itu, daya tahan Rio menurun derastis. Sendi-sendinya tidak bisa bergerak secara normal. Terjadi pembengkakkan di beberapa inti tubuh. Dan yang paling membuat kami bergidik adalah, jantung Rio sasaran selanjutnya penyakit yang dinamai lupus.

Observation LoveWhere stories live. Discover now