21 "Goodbye"

4.2K 231 11
                                    

Seorangpun tidak boleh masuk untuk menengok Rio. Bahkan keluarganya. Kami hanya bisa melihat keadaan Rio dari luar, di balik kaca yang bening. Terlihat di sana, Rio berbaring lemah, selang-selang menakutkan itu kembali menempel di tubuh Rio. Ia kembali dipasangkan masker oksigen. Layar monitor kecil itu, yang berada tepat di samping kanan Rio berbaring, menandakan degupan jantung Rio yang masih bekerja dengan baik.

Aku pamit kepada Om Rizal dan Tante Sarah. Pamit untuk pulang.

Aku pulang menggunakan taksi. Mobilku ada di rumah Rio. Tak apa, biarkan saja di sana, aman bukan?

Tujuanku bukan rumah, namun, rumah orang lain.  Verro. Dialah yang ku tuju sekarang. Entah ingin apa, tapi aku sendiri yang bilang pada si sopir taksi untuk menuju ke rumah Verro.

Sekarang, detik ini, tubuhku sedang terduduk lemah di sofa di ruang tamu rumah Verro. Verro sendiri sekarang sedang menyiapkan minuman untukku. Ia menyuguhiku secangkir cokelat hangat. Cokelat bisa menenangkanmu, katanya.

"Aku menyayanginya. Bagaimana kalau dia benar-benar akan meninggalkan dunia ini?" Ucapku pada Verro.

"Maka kau harus merelakannya."

"Jika aku tidak bisa?" Aku menatap tajam kedua mata Verro, bagai elang yang hendak memakan mangsanya.

"Try. Without trying, it's nothing." dengan mudahnya ia menyuruhku untuk merelakan dan mencoba merelakan.

"You don't know what i feel! Aku gak bisa ngerelain begitu aja. Kamu harus tau itu!" Teriakku padanya.

"I know how you feel. Kamu lupa? Aku sering kehilangan orang yang aku sayang?" Ucapnya. "Bahkan aku kehilangan orang yang begitu kusayangi di dunia ini, Mamaku. Kamu tau kan? Mengapa dengan mudahnya kau bilang aku tidak tahu bagaimana rasanya. Aku sudah terlalu sering, Al. Asam garam, pahit kehidupan sudah ku rasa di dunia ini. I can feel it." Lanjutnya.

"Bagaimana kau bisa-"

"Try, try everything." Ia memotong kalimatku. "Cobalah merelakannya. Kasihan pula ke Rio nya kan, jika ia mati masih ada orang yang tidak rela akan kematiannya."

"I want him in every step of my life, Verro." Ucapku.

"He's already. In here. " telunjuknya menujuk dadaku, menunjuk sesuatu yang berdegup di dalam diriku. "In your heart."

"Meskipun sosok Rio tidak bisa kau lihat jika Rio benar-benar meninggal, dia masih bisa melihatmu. Melihat semua kegiatanmu. Mengikutimu di setiap langkahmu. Ia akan terus berada di sampingmu, melindungimu, meski kau tidak bisa melihatnya. He always in your heart." Aku menunduk. Tidak bisa apa-apa lagi. Harus berbuat apa lagi aku tidak bisa.

"Thank you for your advice." Kataku, berpamitan pada Verro. Kali ini, aku meminta sopir taksi benar-benar membawaku pulang ke rumah.

Sepanjang jalan, yang ku ingat adalah Rio dan Rio. Senyum dia, tingkah dia, rasa sayang dia, dan rambutnya yang rontok ku temukan di paha celana jeans ku. Tak terasa keluar air mata ini. Ku tahan namun makin keluar air mata dari kedua mataku.

Sesampainya di rumah, yang bisa ku lakukan adalah berbaring di atas kasur, memeluk bantal, membiarkan keheningan merasuk ke dalam diriku, membiarkan air mata mengalir dengan derasnya. Ku biarkan semua yang ku rasa keluar. Bahkan alam bisa merasakannya. Hujan deras tiba-tiba muncul disertai petir-petir yang menyambar.

Goodbye, goodbye my love, i can't hide what has come.

Observation LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang