9 "Revenge & Observation Love"

7.5K 411 8
                                    

"Berhati-hatilah, Al!"

Tubuhku kaku tak bisa bergerak. Hanya duduk di atas bangku yang begitu nyaman namun aku merasa begitu tersiksa berada di atas kursi ini. Bu Mirna berada di depanku, menatapku sinis memutar-mutar perkataannya. Sesekali terekam di pikiranku saat aku berada di hadapan siswa-siswi teman-temanku mempresentasikan observasi yang telah ku lakukan. "LGBT itu menular, saya yakin itu." Itulah ucapanku yang terekam di pikiran padahal badanku sedang duduk di bangku yang menyiksa ini.

"Apa kau yakin, kau bukanlah, gay?" Seusai perkataan itu terlontar dari Bu Mirna yang berada di depanku, aku yakin bahwa aku berada di alam mimpiku. Diriku yang asli masih tertidur nyenyak di atas kasur empuk. Aku yakin itu.

"Just, think about it. That's a good chance for you." Tiba-tiba di depanku sesosok Verro yang dengan santai mengucapkan kalimat tersebut.

"Aku bisa membalaskan dendammu jika kau ingin aku melakukannya."

Aku terbangun sedikit tersentak. Aku beranjak mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk di atas ranjang, bersandar ke tembok. Jam di dinding kamar Rio menunjukan enam pagi. Aku lupa tak pindah tidur kemarin, Rio berada di sampingku masih tertidur lelap. Wajah pucatnya sudah hilang namun suhu badannya tetap sama seperti kemarin.

Aku turun dari ranjang kasur, melangkah menuju lantai dasar ke dapur. Tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku butuh satu gelas air minum dingin, dan aku mendapatkannya di dapur rumah Rio ini.

Sama halnya sepertiku, rumah sebesar ini hanya diisi oleh pemabantu dan anak majikan karena majikannya sibuk bekerja. Ya, Rio dan aku sama. Senasib. Diterlantarkan orang tua yang seharusnya ada di samping seorang anak saat anaknya dalam masalah. Contohnya, masalah yang di hadapi Rio adalah dia sakit.

"Udah bangun." Kaget aku mendengar suara Rio di belakangku. Secara refleks aku membalikkan badan.

"Eh, iya. Maaf aku lancang pergi ke dapur. Haus banget soalnya." Jawabku. "Kamu mau minum?" ku tawari Rio dengan menyodorkannya gelas yang ku pegang. Ia mendekatiku lalu mengambil gelas itu, mengahabiskan air minum sisaku.

"Udah agak mendingan?" Tanyaku, meraih gelas yang telah kosong lalu ku simpan di atas meja.

"Ya, gitu. Sakit badannya masih tetep ada." Jawabnya lemas sekali.

"Sakit kaki? Mau aku pijitin." Tawaku.

"Ah, gaus-"

"Ayok. Aku pijitin." Aku merangkulnya. Kami berjalan menuju ruang keluarga.

Rio berbaring di atas sofa, dan aku dalam posisi duduk. Kaki Rio berada di atas pahaku. Tanpa lama-lama lagi, aku mulai memijat kaki Rio oleh kedua tanganku. Ku usahakan memijat selembut mungkin, namun berasa nikmat pada Rio.

"Enakan gak?" Ku lihat Rio menutup matanya.

"Hmm..."

"Jam delapanan aku pulang dulu ya. Takutnya si bi Minah nyariin. Kemaren gak pulang dulu. Kamu gak apa-apa aku tinggal?"

"Enggak apa-apa. Jam delapan Bi Asrih udah ada di rumah." Jawabnya masih menutup matanya.

"Tangannya mau dipijitin gak?" Tawarku lagi setelah lumayan lama ku pijit kedua kaki Rio.

"Boleh." Ia berpindah posisi. Kini, ia duduk. Tangan kanannya berada di atas pahaku, dan kepalanya bersandar ke pundakku saat ku mulai memijit tangan kanannya.

"Kamu berbakat."

"Berbakat?"

"Iya. Berbakat jadi tukang pijit."

Aku tersenyum. "Enak ya pijitanku?"

"Enggak juga sih." dengan polosnya kalimat itu terlontar dari mulut Rio.

Observation LoveWhere stories live. Discover now