Chapter 2 : Menara Jam

5.2K 572 259
                                    

Nico bermimpi berada dalam waktu yang berulang. Ia duduk di kursi belakang, Mr. Wilson yang berkumis duduk di kursi kemudi, mengoceh tentang keluarga Nico yang morat-marit dan mengeluh soal Nico yang memiliki semacam sindrom mencintai rasa sakit. Mobil baru Mr. Wilson selalu berjalan lurus ... dan lurus ... tanpa tujuan.

Begitu terus sampai kiamat.

Sampai suara ding! yang keras membuatnya terperanjat; langit-langit mobil yang rendah tergantikan atap melengkung dengan kandelir yang menggantung tinggi di hidungnya.

Oh, Nico menghela nafas. Oh benar, aku berada di Cottins.

Butuh waktu sekitar tiga menit sampai Nico sadar sepenuhnya. Di kamar temaram ini, Nico merasa asing. Walaupun kasurnya begitu empuk, walaupun ruangannya lebih luas, lebih bersih, dan memiliki kamar mandi sendiri ... Ia merasa tidak seharusnya berada di sini.

Sepetak langit di jendela raksasa kamar tidurnya bertambah terang, dari hitam kelam ke biru gelap dan menjadi api kemerahan, bintangnya padam silih berganti sampai bersih merona fajar. Nico mengerjap sayu, berusaha kembali ke mimpinya yang tak berkesudahan ... namun ia terbiasa bangun pagi dan kebiasaan itu benar-benar menyusahkan ketika kau memiliki satu hari untuk bermalas-malasan.

Setelah berhasil menegakkan badan dan berolah raga ringan, Nico menemukan secarik kertas dengan nampan berisi susu hangat dan kukis di atas nakas. Nico menggigit kukis-kukis itu ke mulutnya, mengantongi kertas ke dalam kaus belelnya dan membuka jendela agar angin segar dapat masuk ke kamarnya. Anginnya menggigilkan, jauh lebih membekukan daripada angin di London.

Sejauh apapun dia memandang, hamparan padang rumput luas membentang. Nico terbiasa oleh pemandangan gedung tinggi, bising kendaraan serta pertikaian kecil orang-orang mabuk yang baru pulang di pagi buta. Kali ini, yang paling tinggi adalah menara jam zaman bahula yang hampir roboh karena tanaman rambat. Salah satu sisinya menyemburat kuning apik disinari matahari, dan sisi lainnya segelap malam. Muka jam itu tidak berjarum, tetapi suaranya keras sekali (suara ding! yang membangunkannya pasti berasal dari sana, tidak ada opsi lain).

Nico mengira menara jam itu sangat menakutkan di malam hari. Bayangkan saja, bangunan horor penuh tanaman rambat yang masih beroperasi, entah isinya apa. Selain itu, sisanya menyenangkan. Pagi buta yang senyap membuat telinga Nico berdiri tegak menangkap suara-suara lirih. Kicauan burung, desiran angin serta gemercik air. Di selatan sana, horizon ungu-biru-dan kuning membatasi daratan dengan langit. Tanahnya melandai dan samar-samar—walaupun tertutup kabut—sungai beraliran teratur mengitip dari baliknya. Lalu jauh setelahnya, jalan setapak yang dipadatkan memeta daratan. Menuju Greyson, barangkali. Sekolah elit yang terletak di bawah lembah.

Sekolah Nico yang baru.

Nico akan bersekolah disana dua hari lagi, setelah musim panas selesai. "Semua sudah kuurus dan kau hanya tinggal duduk dan belajar di kelas!" Professor bilang. Nico mengisap udara diantara geligi.

Yah, apa boleh buat.

Tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan secarik kertas yang ia temukan di nakas. Sebuah pesan absurd sesuai dengan perawakannya sendiri.

Hadiah akan semakin
spesial jika tidak
tahu apa isinya.

Dunia baru ada
di balik pintu,

satunya menyenangkan
dan yang lain
lebih menyenangkan!

- R. F. H.

Nico mengernyit, lalu kembali ke dalam.

✦°⏤

Sarapan diadakan di ruang makan. Professor sudah ada di sana—mengenakan piyama tidur bergaris tua dengan topi—seperti tokoh-tokoh kartun. Ruang makan ini begitu besar, dengan meja paling panjang yang pernah Nico lihat. Kursi-kursi kayu berbeludru merah mengelilinginya, tak kurang dari dua puluh buah. Jendela-jendelanya menjulang tinggi, dari ujung lantai sampai langit-langit berkandelir. Lilin di kandelir itu mati—Nico juga tidak bisa membayangkan bagaimana menyalakan lilin di kandelir setinggi itu. Banyak juga lukisan yang digantung. Beberapa bergambar buah-buahan, tapi yang lainnya campuran antara potret seseorang dan binatang aneh. Professor melambaikan tangannya di atas kepala untuk menyambutnya. Nico mengerjap kikuk, lalu menempati kursi di sebelah Professor Heinrich.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Aug 02, 2020 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Red BalloonDonde viven las historias. Descúbrelo ahora