00. Little Girl With Red Balloon

16.6K 1.1K 297
                                    


Ini adalah cerita sebelum semua dimulai.


Oke, aku merasa perlu menceritakan ini kepada kalian. Menurutku ini cukup penting. Dan cerita inilah yang menentukan judul di sampul depan.


Semua berawal di musim panas tahun itu. 9 tahun lalu. Aku masih berusia lima tahun ketika Ayah mengajak kami sekeluarga untuk menginap di rumah paman Rowan. Kebetulan dia mendapat cuti panjang — sisa tahun lalu — dan juga cukup bugar untuk mengajak kami bertiga jalan-jalan.


Paman Rowan sebenarnya bukan paman dekatku. Dia adalah sepupu ayah, yang walaupun aku menyebutnya paman, dia begitu tua sampai kulitnya bisa dikumpulkan dan digenggam. Aku bertemu dengannya saat perayaan Thanksgiving tahun lalu. Paman Rowan bersuara besar, dan penampilannya mirip beruang madu. Aku sedikit takut berada di dekatnya saat itu, sampai ayah meletakkanku di pangkuannya. Baunya seperti bau kayu pinus, dan jenggotnya menggelitiki wajahku. Tapi begitu aku mendengar suaranya, rasanya dia tidak menggigit. Jadi aku nyaman berada di dekatnya.


Ayah bilang, Paman Rowan super duper kaya. Rumahnya mega besar—ibu bahkan menyamakannya dengan istana! Sean — kakakku — meraih album foto di atas lemari dan menunjukkanku gambar dirinya yang masih berusia empat tahun di bahu seorang lelaki, dilatari dengan bangunan tua seperti museum di belakangnya. Selanjutnya, dia berkata bahwa itu adalah Paman Rowan dan rumahnya. Aku menganga.


Sean juga bercerita tentang pedesaan tempat Paman Rowan tinggal; tentang rumputnya yang empuk serta sungai-sungainya yang mengalir. Tentang udaranya yang berbau embun serta bunga, tentang hewan-hewan yang berisik seperti ayam dan domba. Sean juga memberitahuku tentang hutan tersembunyi beserta telaganya yang berair hijau, begitu jernih sehingga kau dapat tertipu dengan kedalamannya. Dan yang paling menyenangkan adalah sebuah air terjun! Oh ..., aku belum pernah melihatnya seumur hidupku.


Tentu kalian tahu seberapa senangnya aku ketika itu. Rumah besar, telaga, pedesaan, itu sama saja berwisata ke bulan! Seharian aku terus mondar-mandir di rumah, mengganggu ibuku dengan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas begitu saja. Ibu menjawab pendek-pendek sambil diselingi senyuman. Pada akhirnya, dia menyerah dan menyuruhku untuk bermain dengan Sean karena dia sedang membuat ayam goreng untuk makan siang. Jadi, Sean mengajakku main di luar, berganti mengganggu ayahku yang akhirnya tidak sempat mengecek mesin mobil sebelum berangkat.


Dan itu berakibat fatal. Esoknya, ketika kami berada dalam perjalanan, terdengar bunyi nguuiing yang berasal dari kap mobil. Lalu — seperti yang bisa kalian duga — mogok. Ayah menyalahkan aku dan Sean (sebenarnya hanya tergelak dan bercanda, tapi aku merasa sangat bersalah) lalu menyuruh kami keluar sementara dia memperbaiki mesin mobil. Ayah juga mengusir ibu yang ingin membantu, dan menyuruhnya untuk mengambil tikar di bagasi. Kami bertiga mengadakan piknik mendadak di pinggir jalan.


Tentu saja, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Hari itu cukup cerah, dan kami sudah keluar dari London sekarang, jauh sekali dari ibu kota. Tidak seperti di London, daerah ini begitu sepi sampai-sampai kau bisa bermain bola di tengah jalan. Tidak ada rumah sepanjang aku bisa menatap ke depan. Kanan jalan, tempat kami menggelar tikar, adalah sebuah padang rumput luas yang dipenuhi bunga-bunga liar berwarna kuning dengan kelopak besar. Aku tidak tahu bunga apa itu, tapi baunya harum sekali. Dan Sean bersumpah bahwa dia melihat domba jauh di sana, namun aku dan ibu tidak melihat apa-apa di padang kuning itu.

Red BalloonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang