T

3.5K 263 2
                                    


  Langit yang begitu terlihat cerah menampilkan awan-awan yang berhembus dengan pelan, mencoba mengelilingi langit yang berputar.

  "Langitnya begitu terlihat cerah, apa kamu menikmatinya juga?"

  "Aku menanyakan hal bodoh tentu saja kamu menikmatinya."

  Dia bangkit lalu menepuk-nepuk belakang celananya yang kotor dari pasir dan beberapa daun yang berserakan.

  "Aku harus pergi sekarang jika tidak aku pasti akan terlambat."

   Dia mengakhiri ucapannya dengan seutas senyum lalu melangkah pergi dari tempat peristirahatan kakaknya.

Keiza pov

   Hari pekan selalu menjadi hari yang paling sibuk, banyak pengunjung yang berdatangan dengan membawa tawa dan rasa kasih sayang. Rasa bahagia pun terlukis di wajah anak-anak polos yang menikmati setiap wahana permainan.

  "Setengah jam lagi lu akan diganti dengan Rio."

   Aku hanya mengangguk lalu kembali menjalankan tugasku sebagai penjaga tiket. Pekerjaan yang baru saja kulakukan dua bulan ini membuatku cukup menikmatinya.

  "Apa aku akan dapat tiket gratis?"

  "Anda harus tetap membayarnya nona."

  "Kalau waktumu apa aku harus membayarnya juga?"

  "Haha tunggulah setengah jam lagi aku akan menemuimu."

   Dia melangkah pergi dengan senyum di sudut bibirnya, setengah jam berlalu aku sudah digantikan dengan Rio. Sebelum menemuinya aku membelikan cola dingin untuknya.

  Aku mendekat padanya yang sedang duduk sendiri di kursi panjang dengan arah pandangnya mengarah ke bianglala.

  "Kamu ingin naik itu?"

  "Ah, kamu sudah datang."

   Kuberikan minuman yang tadi kubeli untuknya dan dia menerimanya dengan senang hati. Ah, gadis ini tak lelah untuk memperlihatkan senyumnya pada orang sepertiku.

  "Aku tidak ingin menaikinya aku selalu merasa mual jika menaiki benda itu."

  "Pasti tidak menyenangkan, aku kasihan padamu."

  "Jangan kasihan padaku!"

  "Iya-iya."

   Dia tersenyum puas. Sifatnya tidak berubah sejak 6 bulan terakhir aku menemuinya.

  "Kamu masih ingin disini?"

  "Pertanyaan bodoh apa itu?
Tentu saja aku akan menetap di kota kelahiranku."

   Aku mendongak kembali melihat langit cerah, belakangan ini aku sangat menikmati pemandangan langit. Tidak ada rasa puas yang kudapatkan, setiap hari aku ingin selalu melihat kearah atas hanya untuk sekedar menikmati pemandangan.

  "Nih ambillah."

    Ia menyerahkan kertas biru laut yang mirip sebuah kertas undangan padaku seraya meminum cola dinginnya.

  "Undangan pernikahan?"

  "Liatlah siapa nama yang tertera."

  Kuperhatikan nama yang tertera pada kertas itu lalu mengacak rambutnya yang tertata rapi. Dia hanya tertawa lalu merapikan rambutnya yang berantakan karena perbuatanku.

  "Apa dia orang yang baik?"

  "Tentu saja, aku sudah menemukan orang yang baik dia bahkan mempunyai pekerjaan yang bagus."

  "Baguslah."

  "Kamu akan datang kan?"

  "Kalau aku punya waktu."

  "Apa kamu segitu jahatnya padaku, kamu tidak ingin melihatku memakai gaun putih pernikahan?"

  "Buat apa?"

  "Pokoknya kamu harus datang!"

    Dia menghentakkan kakinya dengan kesal lalu menyampirkan tas dibahunya, dia bukanlah gadis mungil lagi yang harus kujaga. Dia sudah menjadi wanita dewasa yang akan segera memikat janji suci bersama orang yang dia cintai. Pernikahan ya? Sudah lama aku tidak pernah mendengar kata itu. Kata yang selalu ingin kuhilangkan dalam ingatanku tapi nyatanya kata itu selalu muncul terlintas begitu saja.

  "Key?"

  "Iya?"

  "Jangan melamun."

  "Haha maaf."

  "Aku sudah memberikan undangan untukmu maka tugasku selesai, aku harus kembali dan menyiapkan pernikahanku."

   "Kamu sudah mau pulang?"

   "Hemm aku hanya ingin memberikanmu itu."

  "Kamu membuang-buang uang untuk datang ke kota ini hanya untuk memberikanku ini?"

  "Buang-buang uang? Hei aku temanmu kenapa aku harus takut kehilangan uangku!"
 
  "Aku jadi kasihan dengan pendamping hidupmu yang harus selalu mendengar suara teriakanmu setiap hari."

  "Haha dia memang sudah punya ilmu lebih untuk menghadapiku."

  Sudah lama aku tidak tertawa karena sesuatu. Rasanya menyenangkan saat dia membuat suatu candaan dengan dia yang menjadi bahannya.

  "Katakanlah."

  "Katakan apa?"

  "Kamu menahanku bukan hanya untuk menjadikanku bahan candaanmu kan. Kamu ingin mendengar kabarnya, itu kan yang ingin kamu tau?"

Author pov

   Kembali dia mengunjungi kuburan kakaknya, berjongkok lalu membersihkan daun-daun kering. 

  "Kak aku datang lagi, kamu nggak bosan liat aku kan?"

  "Aku tau sebenarnya kamu bosan hanya saja kamu tidak ingin mengatakannya padaku. Aku tau hal itu."

  Dia menghirup udara lebih banyak untuk menghilang rasa gelisah.

  "Hari ini Nara mengunjungiku. Dia sangat terlihat cantik, dia bukan gadis mungil lagi. Dan kakak tau ia akan menikah, gadis itu akan menikah."

  Lama ia terdiam mencoba mencari kata yang tepat untuk dikatakannya.

  "Dia menyuruhku datang untuk melihat pernikahannya, apa menurutmu aku harus datang?"

  "Kalau aku datang itu berarti aku juga akan bertemu dengannya walaupun perkiraan itu hanya kecil."

  "Apa tidak apa jika aku bertemu dengannya?"

  "Aku masih terlalu takut untuk menemuinya, entah dia sudah berubah atau masih sama tapi dari cerita yang kudengar dari Nara sepertinya dia sudah berubah."

  "Setiap orang pasti berubah, tidak ada yang mau terjebak dengan masa lalunya. Hanya aku yang masih terjebak."

   Dia terus berbicara seolah dia sangat merasa kalau kakaknya sedang duduk dihadapannya memperhatikan dan mendengarkan setiap ucapannya dengan senyuman tulus.

  "Kak apa aku boleh mengunjunginya?"

It's all because of youDonde viven las historias. Descúbrelo ahora