2. IF I CAN LEAN ON YOUR SHOULDER

35.7K 3.1K 64
                                    


JIKA Pamela Sharleen diberi pilihan, di antara kedua hal ini; terjebak macet ataukah terjebak di tengah-tengah kedua orangtuanya, perempuan itu tak akan ragu menjawab yang pertama. Setidaknya, ketika terjebak macet, dia bisa menyalakan radio digital sekeras mungkin, menggoyangkan kepala dan tubuhnya sesuai irama—untuk mengusir rasa bosan.

Bukannya seperti sekarang ini. Dia bahkan tak bisa menaikkan volume televisi, karena setiap kali perempuan itu melakukan, maka ibunya akan langsung menegurnya. Entah apa yang ayah dan ibunya bicarakan sampai-sampai tak ingin diganggu. Sedari tadi Pamela tak mampu menangkap, pembicaraan mereka mudah sekali berpindah dari satu topik ke topik lain.

Pamela mendesah. Ini semua gara-gara Erga! Andai saja laki-laki tak harus menyelesaikan pekerjaannya, mungkin sekarang mereka tengah duduk-duduk berdua, mengobrol tak tentu arah—seperti kedua orangtuanya, hingga sang purnama beranjak semakin tinggi.

"Via nggak pulang, Bu?"

Mendengar ayahnya menyebut nama sang adik, Pamela lantas menajamkan pendengaran.

"Tadi Via telepon, katanya pulang kerja dijemput Banyu, lalu mereka langsung jalan, Pak."

Pamela ingin sekali menenggelamkan dirinya ke dalam sofa saat mendengar berita itu. Sama seperti minggu-minggu sebelumnya, adiknya—Navia Evony, kembali berhasil mengalahkannya. Tidak, mereka tidak sedang terlibat dalam kompetisi apa pun. Hanya saja, setiap Sabtu malam, Pamela selalu memerhatikan jadwal jemput Banyu dan Erga. Dan selalu saja, Banyu lebih unggul. Kekasih adiknya itu selalu datang tepat waktu. Bukannya seperti kekasihnya, yang gemar sekali terlambat—syukurnya dengan alasan pekerjaan. Tapi, setidaknya itu lebih baik, daripada tidak datang sama sekali. Seperti minggu lalu.

"Erga nggak datang, Nduk?"

Nah, kan. "Datang, Pak. Cuma masih ada kerjaan di kantor. Mungkin ini sudah di jalan."

Dalam hati, gadis itu mengaminkan ucapannya. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di depan, mana tahu tiba-tiba saja laki-laki itu menghubunginya—lagi, namun kali ini bukan mengabarkan tentang keterlambatannya, melainkan batalnya janji untuk menemuinya.


***


HAMPIR pukul sembilan malam saat bel rumah Pamela berbunyi. Perhatian gadis itu pada layar televisi di hadapannya segera teralihkan. Dengan setengah berlari, Pamela menuju pintu. Yakin bahwa yang saat ini berdiri di depan pintu rumahnya adalah tunangannya. Erlangga Reshwara.

Benar saja. Laki-laki itu berusaha tersenyum di balik wajah lelahnya. Kemeja biru muda yang membalut tubuh tegapnya, kusut masai—keluar tak beraturan dari balik celana bahan hitamnya. Bagian lengannya bahkan ditarik asal-asalan hingga siku. Tangan kiri Erga bersembunyi di balik saku, sementara tangan kanannya menyerahkan sebuah kantong plastik putih berisi kotak berukuran sedang.

"Sebagai permintaan maaf untuk keterlambatanku," katanya.

Pamela tersenyum dikulum. Tanpa memedulikan kantong plastik itu, dia segera melemparkan tubuhnya ke arah Erga. Membuat laki-laki itu bingung sejenak, namun detik berikutnya segera membalas pelukannya—dengan melingkarkan tangan kirinya di pinggang gadis itu.

"La?" panggil Erga, sembari menjauhkan tubuh kekasihnya.

"Hm?"

"Kamu tumben banget." Dipandanginya Pamela lengkap dengan kening berkerut.

Pamela diam saja. Tak tahu harus menanggapi seperti apa. Entah bagaimana, dia merasa ada sebuah perasaan, seperti ditolak, mampir ke hatinya. Aneh. Seingatnya, ini bukan kali pertama Erga menolak berpelukan dengannya dalam waktu cukup lama, tetapi mengapa kali ini dia merasa terluka?

TREAT YOU BETTER (Ledwin Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang