[19] Eva(n)

1.2K 103 12
                                    

Cerpen ini sudah pernah kuterbitkan dengan judul yang sama. Tapi karena aku tak suka liat angka di works kebanyakan (apalagi kalau hanya diisi sebuah cerpen), mending kusatuin aja di kumcer ini.

====================

Kalau kau kesepian, pandanglah langit! Karena pada saat itu, aku juga memandang langit yang sama denganmu!

Sudah tujuh tahun berlalu, tapi kalimat itu masih saja terngiang di telinga Evan. Kalimat terakhir yang dikatakan Eva, kembarannya, saat mereka harus berpisah akibat perceraian kedua orang tua mereka. Evan tahu saat itu Eva berkata seperti itu karena tidak mau melihat Evan menangis. Tapi tetap saja, kalimat adik perempuan yang hanya berbeda sepuluh menit darinya itu membuat dia bisa bertahan dalam kesendirian hingga saat ini.

Suatu pagi, Evan berangkat ke sekolah seperti biasa, mengenakan seragam putih abu-abu seperti biasa, membuka gerbang rumahnya seperti biasa, berjalan kaki ke sekolah seperti biasa. Tapi, ada yang berbeda pagi ini. Dia bertemu Eva tepat di dekat jalan menuju sekolahnya.

"Selamat pagi, Evan ...," sapa Eva dengan nada datar tapi senyum tetap mengembang di bibirnya.

Eva mengenakan seragam putih abu-abu yang berbeda dari seragam biasa. Di luar kemeja putihnya melekat rompi abu-abu bergaris merah pada kerahnya. Dasinya berbentuk pita merah. Di ujung roknya yang tiga senti dari atas lutut ada renda berwarna merah. Rambutnya yang panjang dikuncir setengah sedemikian rupa sehingga terlihat anggun. Eva tidak membawa tas di bahu atau punggungnya. Tapi dia membawa sebuah suitcase berwarna hitam dengan renda merah di tutup tas yang berbentuk 'V'. Kaos kaki Eva panjang hingga dua sentimeter dari atas lutut. Membuat kakinya terlihat jenjang karena rok mini dari seragamnya.

Evan tidak menjawab sapaan Eva karena masih bingung dengan apa yang terjadi di hadapannya. Anggapannya ini adalah mimpi bahwa adiknya berdiri di hadapannya saat ini, tersenyum manis padanya dan berbicara padanya. Evan tahu perbedaan mimpi dan kenyataan, tapi kali ini dia tidak bisa membedakannya.

"Kenapa engkau diam?" tanya Eva dengan nada yang masih kaku. Seperti belum terbiasa lagi mengucapkan bahasa setelah sekian lama.

Evan menepuk kedua pipinya keras-keras. Sakit, pikirnya. Dia menunduk dan melihat bahwa Eva menginjakkan kakinya di atas tanah. Eva bukan hantu pagi hari. Tapi dia tetap ingin memastikan kalau yang dilihatnya memang Eva.

Evan berjalan ke depan, mendekati Eva. Tangannya mulai dijulurkan ke depan mencoba meraih bahu Eva. Tapi karena setengah sadar, Evan malah menyentuh tempat lain dari tubuh Eva dan bukan bahunya.

Dengan cepat, sebuah hantaman maut mengarah ke pipi Evan. Eva menggunakan suitcase miliknya yang berisi banyak buku. Mungkin sekitar enam atau tujuh ditambah kamus. Evan tahu itu karena suitcase milik Eva terasa begitu menyakitkan hingga membuat dia terkapar dan mencium aspal jalan. Untung jalanan di sini sedang sepi dan hanya ada mereka berdua. Sehingga tidak ada yang melihat apa yang terjadi pada Evan akibat pukulan telak tersebut Eva.

Evan berusaha bangkit dari kemesraannya dengan aspal. Dia merasa bersyukur karena tidak ada giginya yang copot. Saat sudah berdiri sempurna, Evan tersenyum lalu tertawa kecil melihat kuda-kuda Eva.

Mungkin Eva masih merasa tidak senang akibat pelecehan yang dilakukan kakaknya itu. Karena untuk kedua kalinya, hantaman suitcase mendarat di pipi Evan yang berbeda. Membuat Evan harus mencium aspal lagi. Tapi, kali ini dia menjadi tidak sadarkan diri.

"E-Evan!" teriak Eva panik.

***

Evan terbangun di UKS sekolah. Di atas kasur busa empuk berseprei putih. Terdengar suara tangisan dari sebelah kiri Evan. Dia pun menoleh dan mendapati Eva sedang duduk sambil meneteskan air mata. Tangisan Eva membasahi lengan Evan dan sebagian lengan seragamnya. Membuat banjir kecil di sisi ranjang dan agaknya Evan sedikit risih akan hal itu.

Ketika Kita TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang