[13] Sang Dewa

1.1K 113 15
                                    

Ketika aku membuka mata, yang pertama kali kulakukan adalah menengadahkan kepala. Mataku secara otomatis akan mencari sesuatu yang tidak tampak, tinggi, dan entah mengapa terasa sangat sulit diraih. Soalnya tanganku akan langsung terangkat dan jemariku akan mencoba mencengkeram hal tak terlihat itu.

DIA yang menguasai langit. Sang Dewa.

Ketika air hujan turun, aku juga akan turut menangis. Seberapapun kupaksakan senyum menghiasi bibir, itu akan segera terbuyarkan menjadi perasaan yang membuncah. Perutku mencelus ketika itu juga, lalu aku akan berjongkok dan membiarkan diriku berbasah-basah di sana. Tak peduli pada aliran darah yang semakin membeku, melambat, hingga membuat suhu tubuhku menjadi di bawah normal. Yang kupikirkan adalah "siapa aku?" dan "bagaimana aku bisa berada di sini?".

Kakiku yang tak beralas menambah luka pada telapak kakiku. Rasanya perih sekali, seperti berjalan di atas tumpukan bara api ketika kau baru saja terkena luka bakar. Padahal sekitarku hanya kerikil-kerikil basah yang tumpul dan mengilap di bawah sinar muram bulan. Beberapa kereta kuda lewat tepat di samping, memutar roda di atas genangan air, dan kemudian mencipratiku dengan lumpur.

Aku kotor, serta menjijikkan. Ditambah borok-borok yang menghiasi tubuhku yang hampir terekspos seluruhnya, aku seperti kotoran yang sengaja dihempaskan sang Dewa dari langit. Aku meremas kain yang menutupi tubuh bagian bawahku, warnanya putih dengan noda merah gelap yang terlihat sengaja dicipratkan. Tapi bukan itu yang membuat keningku mengerut. Karena aku yakin tanganku baru sama teriris sesuatu yang ... kasar dan tajam di balik kain lusuh itu. Atau mungkin itu adalah kain berlapis itu sendiri. Tak ingin hal buruk terjadi, aku memilih untuk menjilati darah yang mengucur dari goresan di jemariku. Warnanya merah pekat dan rasanya begitu manis.

Kemudian, aku yang penasaran dengan apa yang berada di balik kain penutupku pun memilih untuk menyingkapnya. Namun saat aku hendak melakukan itu, aku mendengar suara mendesis dari belakang. Suara ular yang bergumuruh, seakan-akan diciptakan untuk menggetarkan sukma setiap manusia.

Perlahan aku menurunkan kembali tanganku, lalu menoleh ke belakang. Di sana aku melihat seorang--mungkin seekor--manusia setengah ular. Seorang wanita dengan rambut ular-ular yang lebih kecil. Pikirku, ialah Medusa. Bedanya adalah wanita ini buta total. Dia berdiri tegak dengan ekor ularnya yang entah sepanjang apa dan sampai dimana. Kedua matanya kosong dan meneteskan nanah hijau yang berbau busuk. Aku bergidik ketika wanita ular itu mendekatkan wajah ke arahku, membauiku. Nafasnya seperti anyir darah yang telah berumur, terlalu lama disimpan di dalam ruangan tertutup.

Mungkin inilah hukuman sang Dewa padaku. Dibunuh oleh satu-satunya monster yang aku kagumi. Akhirnya, kupilih untuk memejamkan mata kuat-kuat dan berharap semua ini tak pernah terjadi.

Kuharap sang Dewa mengabulkan harapanku.

***

Ketika aku membuka mata, aku sedang duduk meluruskan kaki sambil bersandar pada dinding batu kasar. Menengadahkan kepala ke atas, aku melihat langit biru yang sangat tinggi. Sama seperti sebelumnya, aku mengangkat tanganku untuk mencoba meraih apapun yang tak dapat kusentuh itu. Tiba-tiba sesosok bayangan muncul menghalangi sinar matahari, mengalihkan pandanganku seketika. Pria berambut coklat gelap dengan balutan kain putih bersurai emas pada ujung roknya sedang menatapku sendu.

Dia memanggil, "Aeolus."

Aku mendengus. "Itukah namaku?"

Pria itu tak langsung menjawab. Dia hanya terdiam sembari memutar tubuhnya membelakangiku. Dengan susah payah aku mengikutinya, berdiri dibatas tumpuan kedua kakiku yang terasa sangat sulit karena luka-luka di bawah telapak. Rasa nyeri yang menyengat menusuk langsung dan membuatku merintih. Si Pria Kekar menoleh karena itu, menatapku dengan penuh kasih.

Ketika Kita TidurDove le storie prendono vita. Scoprilo ora