"Ohh gak-gak. Gue gak suka muka lo kaya gitu." Fian menghindar dari tatapan memelas yang menjadi andalanku dulu jika Kila tidak mau mengalah padaku.

"Please ya?" Bujukku lagi.

"Ah iya-iya, ini ambil dan jangan pernah lo ngeliatin muka sok memelas lo itu." Fian menyerahkan handphone-ku sambil mendorong mukaku dengan telapak tangannya agar menjauh dari tubuhnya. Biarlah, walaupun dia kasar aku sudah sangat senang karena dia mau mengalah.

"Lo harus nge-cek apaan sih?" Fian mencondongkan tubuhnya agar bisa ikut mengintip ponselku.

Aku dengan fokus membaca deretan-deretan tulisan yang tertera di layar ponselku. Rindu. Itu yang selalu aku rasakan apabila aku mengecek sosial media milik Kila. Setelah kepergian Kila, yang bisa aku lakukan adalah hanya memantau kegiatannya memalui ponselku ini.

Alkohol dan rokok penenangku.

Lagi-lagi dia melakukannya. Alkohol dan rokok. Aku memang tahu itu menjadi kebiasaannya setelah ditinggal oleh ayah dan bunda, sudah beberapa kali aku menegurnya untuk menghentikan kebiasaan buruknya itu. Tapi apa boleh buat, aku selalu kalah dengannya.

Tanpa disadari air mataku jatuh ke layar ponselku dan aku langsung bergegas menghapus air mataku agar tidak ada yang menyadarinya. Reflek, aku memejamkan mataku. Mengingat betapa bahagianya hidupku dulu.

Saat aku berumur 8 tahun, semuanya tampak indah-indah saja. Keluargaku masih tampak sempurna seperti keluarga-keluarga kebanyakan. Setiap akhir pekan pergi berlibur karena itulah satu-satunya waktu aku, Kila dan Bunda bisa bermain bersama Ayah. Mengingat dulu jika aku dan keluargaku bermain ke taman ataupun mal-mall besar, Aku selalu bergandengan dengan Ayah dan Kila selalu bergandengan dengan Bunda. Aku rindu masa-masa seperti itu.

Berbanding terbalik dengan keadaanku sekarang. Sendiri. Sudah tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorangpun, bahkan dari teman.

"Kita keluar aja, Ra." Fian tiba-tiba menarik lenganku dengan pelan.

"Eh-eh bentar, mau kemana?" Tanyaku sambil mengusap cepat sisa-sisa air mataku di pipi.

"Kemana aja. Yang penting lo nanti bakalan seneng di sana."

Fian tetap menarikku dan membawaku masuk ke dalam mobilnya. Haha dia tidak pernah membawa mobilnya ke sekolah sebelumnya.

"Serius lo mau bawa mobil?" Tanyaku penasaran.

"Iyalah, mana mau gue keliatan naik motor berduaan bareng lo. Gue jadi malulah yang ada."

"SIALAN."

Aku bergegas masuk dan tiba-tiba hening, sepi. Biarlah akupun tidak dalam mood yang baik untuk berbincang dengannya. Saat Fian menyalakan mesin, aku tersadar bahwa aku belum memakai sabuk pengaman. Fian tiba-tiba mendekatkan tubuhnya kepadaku. Oh hatiku mulai tidak beres. Tangan Fian mendekati kaca mobil dan aku dibuat tercengang dengan apa yang dia perbuat.

"Kunci pintu mobilnya, bodoh."

HAH

APA?!

Aku kira dia akan memasangkan sabuk pengaman untukku. Astaga, pikiranku sudah mulai ngaco.

Aku akhirnya memasang sabuk pengaman sendiri. Setelahnya aku hanya bersandar pada kaca ataupun sesekali melirik Fian yang sedang fokus ke jalan.

Entah darimana datangnya, tiba-tiba ada seekor ayam melewati jalan tepat di depan mobil Fian.

"Fian lo gila itu di depan ada ayam!!" Aku berteriak sambil memeluk lututku, entahlah itu yang aku lakukan jika sedang panik.

Fian hanya diam dan terus mengklakson dengan cepat agar ayam itu pergi dengan cepat.

"Ay cepet dong lo pergi. Ah elah lama amat lo jalannya." Fian mengoceh sendiri sambil berusaha menghindari ayam tersebut.

"Fian gue gak mau tau pokoknya lo gak boleh tabrak itu ayam!!" Aku terus berteriak padanya sambil memukul pelan lengannya.

"Lo diem, Fara! Asal lo tau gue takut ayam!"

Seketika aku terdiam dan menatap pada matanya. Hahaha apa katanya? Takut ayam? Yang benar saja!

"Gue gak salah denger kan?!" Sekarang aku berteriak kegirangan. "Lo takut ayam?" lanjutku.

"Berisik lo." Fian langsung menutup mukaku dengan telapak tangan kirinya.

Aih selalu begini.

*
*
*

Hari ini aku bangun seperti biasa, di dalam kamarku tanpa gangguan apapun.

Aku bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Sudah satu hari aku ketinggalan pelajaran, entah apa yang sudah aku lewatkan.

Untuk hari ini aku berangat bersama Yudha karena Bibi Sarah masih terlalu khawatir aku akan pingsan lagi. Sesampainya di sekolah, Yudha bergegas pergi ke sekolahnya juga tanpa berbicara padaku.

Aku berjalan melewati lapangan, dan tanpa di duga, bola menggeliding dan berhenti tepat di depan kakiku. Tidak lama seseorang menghampiri dan mengambil bolanya. Ternyata Refan.

Aku melemparkan senyum kecil padanya dan dibalas olehnya.

"Bro! bawa dulu ini bola." Refan melemparkan bolanya pada temannya. "Gue denger dua hari lalu lo pingsan ya?" Lanjutnya sambip berjalan di sebelahku.

"Haha iya, cuma gara-gara kepanasan doang, gak terlalu parah." Jawabku gugup.

"Tadinya gue mau ke rumah lo, tapi lo ngga ada di rumah." Ujarnya seperti nada kecewa.

Ya aku kan pergi bareng Fian.

"Oh gue kemaren pergi, Fan. Sore gue udah di rumah kok." Kataku sambil menatapnya, aku sudah samapai di kelas.

"Yaudah, bye ya. Udah nyampe ke kelas lo. Gue mau balik ke lapang." Kata Refan sambil tersenyum lalu pergi.

Aku hanya mengangguk dan masuk ke dalam kelas. Hmm sepertinya aku sudah lama tidak masuk kelas. Tidak ada yang berubah, hanya satu hari tanpa di kelas seperti beberapa hari buatku.

Aku melangkah cepat ke bangku milikku dan mengeluarkan buku.

"Hai!"

Aku menoleh dan mendapatkan Karin di sampingku.

"E-eh? Hai haha." Aku menjawab sapaannya dengan gugup. Sepertinya ini pertama kalinya dia menyapaku di depan umum setelah dia meninggalkanku.

Karin dulu adalah sahabatku, tapi entah dia pantas disebut sahabat karena dia percaya dengan tipuan yang dibuat Kila. Dan dia benar-benar meninggalkaku.

"Ada apa?" Tanyaku langung padanya.

"Waw haha lo ternyata tahu gue butuh sesuatu." Ucapnya sambil tertawa.

Apa yang dia tertawakan. Menurutku tidak ada yang lebih lucu dari cara tertawanya yang seperti nenek lampir.

"Ya. Lo butuh apa dari gue?" Tanyaku lagi lebih tajam.

"Gue cuma mau bilang sesuatu kok." Katanya sambil memainkan rambutnya. Ha dia kira aku ini apa. "Jauhin Fian!" Lanjutnya penuh penekanan.

"Dia kelompok gue, Rin. Gue pasti butuh dia." Ucapku jujur.

"Terus? Itu bukan urusan gue, cantik." Katanya dan pergi meninggalkanku.

Tidak lama Fian datang dan duduk di sampingku.

"Kenapa?" Tanya sambil memandangi aku dan Karin bergantian dari jarak jauh.

"Gak ada apa-apa kok." Jawabku sambil tersenyum.

Tanpa Fian sadari, Karin sedang menatap tajam padaku.

---

akhirnya gue bisa post lanjutan ceritanyaaa:') thank you yang nunggu baca dan vote cerita gue. peningkatannya lebih dari yang gue kira. thank you so much..

AloneWhere stories live. Discover now