Iris biru Hanna melebar tak percaya, dia segera memungut mantelnya yang teronggok di lengan sofa. "Kau benar-benar keparat menyebalkan dan tak punya otak!" setelah menyelesaikan kalimatnya ia langsung pergi.

Pikirannya yang sempat tercecer tadi kini sudah kembali saat mendapat tepukan dari Theo. "Aku tak tau apa masalahmu dengan Chryssan, kuharap kalian cepat berbaikan."

Daviss tak menjawab, dia masih tetap bercumbu dengan arogansinya.

"Aku melihatnya ke luar dari sini, dia menangis, mate."

"Bukan urusanku." jawabnya sewot, ia kemudian beranjak menuju ranjangnya dan mengubur diri dibawah selimut tebal. "Ke luar Theo!"

Theo mendengus, "Fine! Setidaknya selama ini aku sudah berusaha menyadarkanmu mate, membantumu dekat dengannya. Tapi rupanya kau terlalu bodoh untuk memahami semua ini."

Theo merasa kesal juga pada sahabat pirangnya, rasanya ia ingin sekali berteriak di telinga Daviss kalau dia sebenarnya mencintai Chryssan dan juga sedang dilanda badai cemburu saat ini. "Mulai sekarang terserah kau mau bagaimana! Pecundang tetap saja pecundang!"

PRANG! Sebuah jam weker baru saja menghantam pintu tepat di mana Theo berdiri, nyaris terkena kepalanya. Dasar pirang idiot! Theo mengumpat kemudian dia pergi dengan bantingan pintu.

*

*

*

Ke-esokan harinya, kelas Cross Culture Understanding.

Pagi ini Daviss sudah rapih dan siap untuk pergi ke kelas, ia berjalan cukup kesulitan dengan tongkatnya. Sial, andai saja ada ramuan perekat tulang seperti di film Harry Potter, pasti dia tak perlu susah-susah memakai tongkat seraya menahan nyeri.

Di koridor dia sempat berpapasan dengan Chryssan yang juga baru ke luar dari lorong asrama murid putri, wajahnya terlihat pucat, bibir yang setiap hari berwarna pink kali ini terlihat membiru, mata dengan lingkar hitam dan rambut kusut. Err... Daviss mengernyitkan hidungnya melihat penampilan Chryssan yang seperti zombie.

Saat sampai di kelas, Daviss mengambil tempat di meja paling belakang, sedangkan gadis semak itu duduk di tempat biasanya dengan si Simmon dan juga busuk Wignel. 'Apa benar yang dikatakan Theo kalau dia menangis? Semalaman? Tidak tidur?'

"Theo!" ia berseru saat melihat sahabatnya baru saja masuk.

"Aku duduk di sini saja," balas Theo seraya menunjuk meja kedua tak jauh dari meja Chryssan. Daviss mendengus, ia tak percaya kalau Theo ikut memusuhinya. Hell, dengan alasan apa dia bersikap begitu hah? "Hey, aku bercanda hahaha..."

"Sialan kau!" kesalnya seraya meninju lengan Theo yang sudah duduk di sampingnya.

Tak lama kemudian profesor Unwin masuk ke dalam kelas, mengabsen murid satu per satu, kemudian menjelaskan mengenai Social Diversity. Bla bla bla.. mata kuliah yang sangat membosankan, sudah kesepuluh kalinya Daviss menguap, lebih parah Theo, dia sudah digondol mimpi dengan dengkuran kecil, beberapa teman yang duduk di belakang juga tak jauh beda dengan Theo, bahkan salah satu dari mereka ada yang sampai mengigau dan mengeluarkan liur yang cukup banyak, itu sangat menjijikan.

Yang bertahan di kelas ini hanya beberapa gelintir orang saja seperti Simmon, Wignel yang matanya setengah meredup, ada Petra yang sedang mencabuti bulu hidungnya agar dia tetap bertahan dari rasa kantuk, dan hey siapa yang tidur di sana... hoho, mungkin ini akan tercatat dalam sejarah sekolah, seorang Chryssan yang selalu perfeksionis disemua mata kuliah kini sudah menjatuhkan kepalanya di atas meja.

"Baik, untuk tugas yang harus kalian kerjakan adalah membuat essay sepanjang 3000 kata, tugas ini akan dikerjakan secara berkelompok. Satu kelompok terdiri dari dua orang-"

Fated to Love You Where stories live. Discover now