Kemana Abran si congkak?

12K 1.3K 90
                                    

Bumi tak lagi berputar pada porosnya, seperti itulah gambaran Reina terhadap Daviss. Sejak kejadian di perpustakaan itu Daviss semakin gencar menempelinya, membentak semua cowok yang berusaha mengajaknya bicara, padahal yang akan mereka bicarakan adalah mengenai tugas-tugas.

"Stop!" ia berbalik lantas menatap malas pemuda yang berdiri tak jauh darinya. "Kau punya jam?"

Dia menyeringai, kemudian mengangkat tangan pucatnya. "Hm, kenapa?"

Huuuuft... sepertinya lebih mudah menghadapi seorang balita daripada si albino ini. "Ini waktunya tidur, Ab-" Daviss menyipitkan matanya tak suka, "Yeah, Daviss."

Permukaan wajahnya terasa dingin dan ini sudah terjadi beberapa hari belakangan ini, pokoknya semenjak seorang Abran ada di sekitarnya. Yap, tangan pucat itu masih membelai wajahnya lembut. "Kau harus menurunkan tensimu,"

'Ish... memangnya aku marah-marah karena siapa?!'

"Kembalilah ke kamarmu, ini sudah malam."

Daviss mengangguk, "Selamat malam, love"

Sial sial sial! Kata-kata ajaib itu selalu membuat darah Reina berdesir.

"Malam." Balasnya namuan si pirang itu belum juga pergi, Reina menaikkan satu alisnya. 'Apa lagi yang dia tunggu?'

"Laba-laba!" Daviss menjerit seraya menunjuk ke atas, dengan bodohnya Reina mengikuti arah telunjuk itu. "Selamat malam!" ia kembali berseru di tengah koridor yang menggema setelah berhasil mencuri ciuman di pipi.

"Dasar bodoh!"

*

*

*

Setelah mengganti baju, cuci kaki serta sangat disayangkan harus mencuci muka, Reina melemparkan dirinya ke ranjang, mangambil boneka gorilla yang sialan seram kemudian memeluknya.

Pagi tadi dia habis menemui Theo untuk menjelaskan semua kekacauan ini, sangat tidak masuk akal mengenai sifat Daviss yang tiba-tiba menjadi sialan manisnya. Reina berasumsi kalau dibalik semua ini ada sesuatu yang tidak beres, mungkin saja Daviss sedang bertaruh dengan Theo seperti hari-hari sebelumnya, atau mungkin dia sedang mengerjai Reina dan nanti akan ada banyak video dengan tampang konyolnya yang diputar di aula besar saat pesta kelulusan, betapa bodohnya Reina yang akhirnya terpikat oleh pirang busuk itu.

"Theo! Permainan apa yang sedang kalian lakukan?!" pagi itu ia menyeret Theo ke dekat Danau.

"Apa? Aku tidak sedang memainkan apa-apa kecuali peran bodohku di pentas drama besok pagi!"

Reina mendudukkan diri di rerumputan hijau, menatap nyalang danau beriak di depannya. "Ini mengerikan, kau tau? Temanmu selalu menempeliku, dan itu membuatku takut."

"Kau membicarakan Daviss? Hahaha..."

"DIAM!" sungutnya sebal.

Theo ikut menghempaskan bokongnya di samping Reina, mengambil kerikil dan melemparkannya ke danau seperti biasa.

"Aku tak tau apapun, suer. Awalnya aku berpikir dia baik-baik saja, tak ada sesuatu yang aneh dari dirinya, dia mengenalku, mengenali kedua orangtuanya, mengenali teman-teman yang menjenguknya, sama sekali tak ada tanda-tanda kalau dia amnesia. Tapi beberapa jam selanjutnya, tepatnya setelah kau pergi, dia terus mencarimu, dan sampai sekarang dia selalu bercerita tentang dirimu, dari mulai bangun tidur sampai mau tidur lagi."

Reina tak bisa menahan kepalanya untuk tidak menoleh. "Aku takut,"

"Apa yang kau takutkan? Seharusnya kau merasa senang. Kau tahu? Kami tidak pernah berkelahi walau separah apapun masalahnya, dia selalu bisa memaafkan aku karena aku sahabat terbaiknya. Namun hari itu, untuk pertama kalinya dia meninju wajahku begitu keras, aku sama sekali tak marah, hanya saja aku merasa lucu. Hahaha.... dia bilang aku sudah memfitnahmu berselingkuh dengan Zimmer."

Fated to Love You Où les histoires vivent. Découvrez maintenant