BAB 6

1K 121 17
                                    

BAB 6



Darah.... Darah dari mana itu?

Tidak bisa ditutupi Elang sangat panik. Apalagi saat melihat seorang bapak paruh baya yang sedang meringis kesakitan. Belum lagi saat ia melihat darah. Jantungnya berdegup kencang saat melihat bapak tersebut.

"Saya mohon maaf, Pak. Bapak bisa berdiri?" dengan sekuat tenaga Elang mengangkat sepeda motor yang menjepit kaki bapak itu. Dan betapa terkejutnya Elang saat melihat seekor ayam yang menggelantung dimotor. Seekor ayam kampung, dan kini telah mati. Terlihat dari darah yang keluar dari ayam tersebut. Bapak itu pun ikut terkejut, terlihat wajahnya yang kini sedikit pucat.

"Bapak... Kita ke rumah sakit, ya. Kita periksa luka Bapak." ujar Elang sedikit mengalihkan. Bapak tersebut hanya diam, jika diperhatikan ia sedang terguncang. Napasnya pendek-pendek, dan pandangannya kosong. Dan tak lama beberapa pengendara mengerubungi Elang.

"Mas... Bisa saya minta tolong angkat Bapak ini ke mobil saya." ujar Elang pada seorang pengendara yang mengerubunginya.

"Ayo, Mas... Kami bantu," ujar salah satu orang diantara mereka. Dan tak lama, tubuh bapak itu pun terangkat. Dea yang sedang mengigit jarinya itu terpekik, saat melihat darah menutupi celana pria paruh baya tersebut. Dan lebih terkejut lagi, saat pintu mobil belakang Elang terbuka tiba-tiba.

Tidak ada suara rintihan, yang terdengar hanya suara napas yang tersendat-sendat. Elang sangat takut, meski tidak terlihat mengalami luka serius ditubuh pria itu. Namun, kemungkinan besar, pria paruh baya itu mengalami serangan jantung.

"Kita antar Bapak ini ke rumah sakit," ujar Elang penuh marah pada Dea saat duduk dikursi kemudi. Dea menoleh, berfikir cepat lalu menyerukan isi hatinya.

"Berarti, kita harus puter balik? Nan... nanti, kalau aku kemaleman bagaimana?" tanya Dea takut-takut. Ia ingin segera sampai di rumah karena Fatih akan menjemputnya untuk pulang ke Solo.

Seketika amarah Elang memuncak, bagaimana bisa Dea mementingkan kepentingan pribadi ditengah kondisi genting seperti ini? Seraya mengendarai mobil, Elang memarahi Dea.

"Aku sudah bilang pulang telat sama Ibu kemarin kan. Lalu kenapa harus pulang terburu-buru! Apa kamu tidak lihat bagaimana kondisi Bapak itu?!" Elang menarik napas kuat-kuat. Dea yang baru kali ini dibentak oleh Elang tiba-tiba menangis pelan.

"Kalau kamu mau pulang sekarang, nanti kita cari taksi di rumah sakit!" ujar Elang sekali lagi yang mampu membuat Dea bungkam begitu saja.

Elang benar-benar kesal! Memangnya siapa yang mengakibatkan kecelakaan ini? Kalau saja Dea tidak merajuk padanya, pasti Elang tidak akan kehilangan konsentrasi. Dan... Oh, bisakah Dea bersikap dewasa sekali saja? Memikirkan itu emosi Elang semakin tersulut. Apalagi ditambah suara tangisan Dea. Ia melihat kondisi pria paruh baya dari kaca spion, dan terkejut saat melihat matanya tertutup.

Ya Tuhan, apalagi ini?

- E & R -

Cantik... Benar-benar sangat cantik. Dari sudut manapun ia terlihat sangat cantik. Padahal yang ia lakukan saat ini hanyalah melihat salah satu buku novel yang hendak ia beli. Not A Perfect Wedding. Begitulah judul novel yang sedang ia lihat itu. Mempunyai cover biru yang sangat cantik. Dan saat ia melihat blurb pada belakang novel. Ia pun tersenyum.

Ah.... Senyum itu sangat indah.

Sekilas, ia terlihat seperti gadis kebanyakan. Memakai jeans hitam yang tidak terlalu ketat, atasan yang menutupi hingga atas lutut berwarna putih juga kerudung polkadot berwarna hitam putih. Namun justru kesederhanaan itu membuat ia terlihat spesial. Pembawaannya yang manis juga tenang.

Seraya membawa novel berwarna biru itu, ia berjalan menuju meja kasir. Saat ia sedang mengantri, tepat didepannya terdapat dua muda mudi yang sedang bercengkrama. Terlintas sebuah pertanyaan dari seseorang. Yang bahkan sampai hari ini, ia tidak mampu menjawabnya.

Memang kamu nggak punya?

Sebuah pertanyaan yang sangat kekanakan. Namun entah mengapa saat ia membaca pertanyaan itu, ia merasakan sesuatu yang beda. Seperti sebuah harapan.... kesempatan?

Ya ampun, Re! Apa yang ada dipikiranmu, itu?!

Ia meringis kemudian tertawa kecil. Sungguh konyol pikirannya itu. Ia memang tidak pernah dekat dengan pria. Secara khusus tentunya. Ia hanya anak rumahan, anak tunggal yang hanya keluar rumah saat ada keperluan penting.

Tetaplah bersamaku....
Jadi teman hidupku....
Berdua kita hadapi dunia...

Suara merdu milik Tulus memecah pikirannya. Dengan cepat, ia membuka tas dan meraih ponsel pintar miliknya. Nomor tidak dikenal.


- E & R -

Elang bisa bernapas lega saat melihat Bapak tua itu membuka mata. Lebih lega lagi, saat mendengar penjelasan dokter bahwa tidak ada luka serius yang dideritanya. Pria paruh baya itu hanya shock, dan untung saja tidak terkena serangan jantung. Dan sekarang, beliau sudah semakin membaik.

"Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar kehilangan konsentrasi tadi. Saya mohon maaf." Elang mengutarakan isi hatinya sungguh-sungguh. Setelah tadi sempat mengantar Dea mencari taksi dan menelpon ibunda Dea untuk meminta maaf karena tidak bisa mengantar. Kini ia harus menjaga pria paruh baya itu seraya menunggu kerabatnya yang datang.

"Tidak apa-apa, Nak." ujarnya seraya tersenyum. Elang mengangguk tidak enak lalu tersenyum. Terlihat satu lesung pipi di sebelah kiri pipinya. Membuat hati teduh, karena terlihat sebuah ketulusan disana.

"Oh iya, nama Bapak siapa tadi? Maaf saya ndak ngeh, Pak." tanya Elang meringis.

"Panggil saja Pak Harun, Nak Elang."

"Ah, iya Pak Harun." Elang mengangguk mengerti.

Melihat Pak Harun yang mengantuk, Elang memilih untuk menyingkir. Ia membiarkan pria paruh baya itu beristirahat sejenak. Karena Pak Harun bilang, putrinya masih di perjalanan menuju rumah sakit.

Sebuah kursi kecil tak jauh dari ranjang Pak Harun menjadi pilihannya. Ia sempat berpikir, apakah mungkin ia terlalu kasar pada Dea. Apalagi, saat di rumahnya tadi, Mama Elang memperlakukan Dea kurang baik.

Ia meraih ponselnya untuk menelpon Dea namun ternyata tidak aktif. Dan sudah dipastikan kalau Dea tengah marah sekarang. Kali ini, biarlah dulu. Biarkan Dea berpikir atas apa yang terjadi hari ini. Termasuk sebuah kecelakaan karena Dea sudah bertingkah kekanakan.

Setelah menitip pesan pada Ibunda Dea, jika Dea pulang segera memberitahunya. Ia pun memainkan ponselnya. Ya... Apalagi kalau bukan main games. Sebuah pengalihan yang membuatnya merasa sedikit ringan.

Saat tengah bermain, sesekali Elang melihat pesan-pesan yang masuk di grup chat-nya. Sepi.... Elang merasa sepi karena Ren_JN tidak mengirimi satu pesan pun untuknya. Ah... Ia benar-benar merasa bersalah. Ternyata, ia sudah salah bertanya.

"Ayah...!!!" suara teriakan seorang gadis mengagetkan Elang.

Gadis itu berlari dan mendekati Pak Harun.

"Rere... Ayah tidak apa-apa, Nak." ucap Pak Harun yang terdengar sayup-sayup ditelinga Elang. Semua yang dilakukan Pak Harun dengan gadis bernama Rere itu tidak luput dari penglihatan Elang. Dan saat gadis itu melihat, kedua mata itu bertemu. Manik Elang yang hitam namun terlihat hangat. Juga manik gadis itu, berwarna coklat terang. Seharusnya manik coklat itu terlihat hangat. Namun kali ini tidak! Manik itu berkaca-kaca, menatap Elang tajam dan dingin.

Deg!

Elang dapat merasakan jantungnya berdegup dengan kencang. Sangat kencang sampai ia mampu mendengarnya. Ia benar-benar merasa bersalah.

- E & R -

To be continue....

Maafkan saya, kakak.. Maaf baru bisa update sekarang. #DimaafinYa!
Siapa yang penasaran?
Minta komentarnya dong, sejauh ini bagaimana pendapat kalian tentang kisah Elang ini?
Makasih banyak, ya. Yang udah mau vote, komen plus juga nungguin cerita ini,

LoveUaLL

The Right WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang