Edgar bisa melihat bagaimana Cody tersakiti. Rahang pria itu mengeras, mengatupkan gigi dan berusaha menahan air mata yang nyaris keluar. Melihatnya seperti ini membuat Edgar merasa bersalah. Dia bisa merasakan kesakitan Cody.

Hanya saja, Edgar sudah memilih.

"Cody," kata Edgar lagi. Begitu Cody berbalik, Edgar justru terdiam. Dia tak tahu apa yang harus dia katakan pada Cody.

"Aku bilang jangan ucapkan apa pun karena aku tak akan mendengar apa pun," katanya tegas. "Kau akan segera menikah. Tak ada gunanya bagiku berlama-lama di sini jika kau memutuskan untuk mencampakkanku."

Edgar justru mengatakan. "Cody, aku masih mencintaimu."

"Jika tiga menit lalu aku mendengar itu, aku akan percaya padamu dan dengan senang hati menyerahkan diri padamu. Tapi sekarang tidak." Cody mendorongnya minggir.

Sekarang Edgar putus asa. "Aku masih ingin bertemu denganmu. Sebagai teman," katanya lagi dengan nada memohon.

"Apa kau gila?" Cody menaikan suara—sesuatu yang jarang terjadi. "Perasaanku akan dipermainkan olehmu. Kau pikir aku bisa tenang-tenang saja melihatmu mengucapkan sumpah setia pada gadis itu? Aku tak akan melakukan hal itu, Ed. Kita sudah berakhir dan aku tak akan pernah menjadi temanmu. Selamat atas pernikahanmu dan semoga kau bahagia."

Lalu dengan menghapus air matanya yang sempat jatuh, Cody mengatupkan rahang, membuka pintu, keluar dari rumah Edgar, membanting pintu lebih keras dari seharusnya.

Dan tak kembali untuk selamanya.

*

Setelah seminggu penuh, Cody masih patah hati. Selama tujuh hari penuh, dia hanya menangis, ngumpet di rumah, mengunci diri dari segala macam gangguan dunia, bahkan tak berniat mengangkat telepon atau membalas pesan masuk dari siapa pun lalu depresi, tidak makan, dan akhirnya bosan sendiri.

Aku harus move on. Masih banyak cowok di jalanan. Cinta tak cuma nyangkut pada Edgar.

Maka dengan tekad menggebu-gebu, Cody pun bersiap meninggalkan rumah, menuju bar dan berniat untuk berkenalan dengan orang-orang baru. Kali ini, dia bersumpah akan mencari orang yang lebih baik daripada Edgar.

Cody memutuskan ke bar bernama Efuro karena dia sudah bersumpah kalau dia tak akan pernah mendatangi tempat-tempat yang menjadi kenangannya dan Edgar. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi bila dia bertemu Edgar.

Menaikkan kacamata lebih tinggi, Cody melangkah masuk.

Suara musik menyambutnya dengan dentuman yang memekakkan telinga. Begitu menggila. Lampu-lampu temaram dan berwarna-warni menempel di atas dinding dan juga di lantai dansa, berkedip dengan cepat mengikuti alunan musik. Orang-orang yang ada di atas lantai dansa tak kalah riuh. Mereka melompat-lompat, berteriak seru, menggeliat penuh mesra dengan pasangan mereka saat berdansa, dan semakin puas tak kala sang DJ juga ikut menambah panasnya malam.

Tak jauh dari lantai dansa, dipisahkan oleh palang bulat mengkilap, ada sang DJ bermain di atas tangga. Di kiri-kanannya ada cewek-cewek yang ikut berdansa.

Beberapa langkah dari sana ada pole dance tempat di mana cewek-cewek bayaran berdansa. Tidak striptease tapi jelas membuat semua pria yang bukan gay akan ngiler dan tak akan berhenti melotot. Sayangnya, Cody tidak begitu tertarik.

Mendengus, dia melangkah mendekati bar. Sudah ada pria dan wanita duduk di sana—setelah Cody berhasil menyingkirkan para wanita yang berusaha menyentuhnya. Mereka berbisik-bisik dengan mesra dan tidak memperhatikan ataupun menyadari keberadaan Cody.

Begitu Cody duduk, seorang bartender segera menyapanya. "Selamat malam, Sir. Mau minum apa?"

Cody berusaha memberikan senyuman memikat. "Vodka."

I Love You, Mr GWhere stories live. Discover now