Bab Tujuh: Serangan Tiga, Kau Keluar

Mulai dari awal
                                    

"Oke, itu masuk akal, tapi tetap saja..."

"Naomi, dengarkan aku," ujarnya, memegang kedua bahuku untuk menghadapnya. "Akan butuh lebih dari memukul seseorang atau membuat balasan sarkastik untuk mengirimku ke kantor kepala sekolah seperti dua orang bodoh itu. Aku berjanji, aku akan menempel padamu seperti lem sepanjang hari sampai mereka kembali. Setelah mereka kembali, mereka akan membelikan kita piza karena telah menjadi idiot-idiot. Kau mengerti?"

"Aku hanya mendengar kata lem dan piza," kataku, bercanda tapi membuatnya tersenyum.

"Hampir betul, sekarang ayo ke kelas."

"Tapi kita mempunyai jadwal yang berbeda," aku memberitahunya.

Dia tersenyum lebar, mata coklatnya berseri-seri. "Kau pikir aku peduli soal itu? Aku akan menguntitmu sepanjang hari, Lorraine. Ayo."

Dia menggenggam tanganku dan menyeretku menyusuri ruangan. Dia berjalan cepat tapi susah untuk melakukan itu karena aku memperlambatnya. "Ayolah, kau tidak ingin terlambat, kan, nona penurut?"

Dia ada benarnya juga, jadi aku mulai berlari. Kali ini orang-orang tidak mencoba untuk menyandungku, melempar benda ke arahku, atau mengejekku. Mereka bisa secara tidak sengaja memukul Declan atau dia akan berpikir mereka sedang berbicara kepadanya. Jadi sebagai ganti harus menggali jalanku melalui kerumunan hanya untuk sampai di kelasku yang selanjutnya dengan lebam-lebam dan perasaan yang tersakiti di perjalanan, anak-anak di ruangan berpisah seperti Laut Merah, membuat Declan dan aku sampai di kelas tepat waktu.

Declan membukakan pintu untukku, yang merupakan pertama kalinya. Secara harfiah, ini adalah pertama kalinya. Belum pernah ada yang membukakan pintu untukku. Ya mereka menutup pintu di depan wajahku, tapi tidak pernah membukanya. Aku berjalan masuk ke kelas dengan tersenyum, tapi senyum itu langsung hilang saat aku melihat apa yang sedang menunggu untukku.

"Ugh, aku sudah yakin dia tidak masuk hari ini."

"Ya, aku tidak melihatnya di bis, orang-orang biasanya menunggunya di sana."

"Menunggu dengan balon-balon air, kan."

Seluruh kelas tertawa pada kalimat itu. Aku mengabaikannya, aku sudah terbiasa dengan ini. Tapi tiba-tiba gelak tawa terhenti dan semua orang menatapku. Aku mengerjap, apa yang sedang mereka tatap- oh, lupakan.

"A-apa itu Declan?"

"Apa yang sedang dia lakukan di sini?"

"Dia di kelas kita? Sejak kapan?"

"Aku tidak peduli, aku hanya ingin tahu di mana aku bisa menemuinya setelah kelas selesai."

Aku memandang Declan yang hanya memutar bola matanya pada komentar-komentar tersebut, mengabaikannya. Dia mungkin sama terbiasanya dengan komentar-komentar itu seperti aku yang terbiasa dengan caci makian.

Aku mulai berjalan ke bangkuku, yang berada di tengah-tengah kelas. Kau pasti bertanya, mengapa bangkumu berada di tengah-tengah kelas? Apa kau memiliki semacam keinginan untuk mati? Kenapa kau tidak duduk saja di belakang atau duduk di depan seperti dirimu yang kutu buku? Well itu pertanyaan yang bagus. Aku akan menjawabnya seperti ini.

Sesuai abjad.

Itu akan menjadi penyebab kematian diniku suatu hari. Bukannya itu sudah menjadi penyebabnya sih.

Jadi aku sedang berjalan ke bangkuku. Dan ketika aku sudah benar-benar berjalan cukup jauh, rekor baru kurasa tiga atau empat kaki. Sampai seseorang memutuskan untuk mengeluarkan kakinya, membuatku tersandung. Aku bisa jatuh ke lantai dengan muka duluan jika bukan karena Declan lagi. Dia menggenggam kerahku dan menarikku berdiri. Aku mendapatkan keseimbanganku dan sadar akan pandangan-pandangan yang kuterima. Semua orang menatap kami berdua, mulut terbuka, hanya terdiam.

The Good Girl's Bad Boys: The Good, The Bad and The Bullied (Bahasa Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang