"Lalu, kami harus membicarakanmu?" tanya Danu.

Hendra masih berada di depan kelas. "Aku lanjutkan tentang perangko mi—"

Gilang masih memperhatikanku dengan pandangan kurang suka.


Saat pulang sekolah, aku melihat Sari sedang menghampiri Darma di parkiran. Aku kaget saat Sari menarik Darma. Melihat Darma tampak pasrah dibawa oleh Sari membuatku mencoba mengikuti mereka. Aku berhati-hati agar tidak dilihat oleh keduanya.

Mereka berdua berhenti di samping gudang sekolah. Aku bersembunyi di balik dinding dan menunduk agar bisa mengintip apa yang ingin mereka bicarakan.

"Kau sudah tahu, kan? Aku tidak akan menyerah. Sudah lama aku suka padamu dan itu akan selalu," kata Sari tanpa basa-basi. "Kau harus mau jadi pacarku."

"Saya tidak mau," jawab Darma santai. "Jawaban tetap sama."

"Ayo dong. Kamu bisa melakukan apa saja padaku kalau kita pacaran. Aku sangat menyukaimu. Saat lihat kamu, aku selalu lupa yang lain. Pokoknya, aku tidak bisa berhenti mikirin kamu. Aku cinta kamu, Darma," kata Sari yang benar-benar membuatku jijik.

"Apa alasannya? Kenapa kamu bisa menyukai saya?" tanya Darma dengan nada bingung.

"Semua orang pasti sudah tahu kan, kalau kamu ganteng, jago olahraga, pintar, anak saudagar kaya," jawab Sari. "Siapa sih cewek yang tidak menyukaimu? Kau jangan bodoh menanyakan hal seperti itu."

"Dari jawabanmu, kamu hanya bagian dari mereka yang punya alasan serupa, kan? Jadi, tidak ada alasan untukku menerimamu," kata Darma.

"Tapi aku cantik, tubuhku juga bagus," ungkap Sari. "Pegang saja jika kamu ingin."

"Kecantikan perempuan bukan soal wajah dan tubuh," kata Darma. "Cantik adalah soal bagaimana perempuan bisa bersikap dengan menjaga harkat dan martabatnya."

"Jadi, kamu mau bilang kalau aku tidak punya harkat dan martabat?" tanya Sari yang tampak kesal.

Tamparan terdengar, aku melihat Sari berlari pergi dengan marah. Lalu, disusul Darma yang berjalan santai meski sudah ditampar keras oleh Sari. Mereka tidak menyadari kehadiranku. Itu membuatku lega.

Apa Sari selalu melakukan itu dengan pacar-pacar sebelumnya? Maksudku, dia pernah bilang bisa mendapatkan laki-laki yang disa mau. Jika caranya dengan menawarkan tubuhnya kurasa itu cukup masuk akal. Laki-laki sekarang mana yang tidak mau diberikan hal semacam itu secara gratis. Mendengar bahwa Darma menolak membuatku semakin bersalah dengan kecurigaanku hari Sabtu lalu.


Kamis siang, aku berada di perpustakaan, tepatnya di salah satu ruang khusus tempat aku dan Bu Nikma membahas soal-soal olimpiade. Dia sudah mendapatkan soal olimpiade matematika tingkat nasional yang dikompetisikan tahun kemarin. Hari ini, Bu Nikma kelihatan sangat segar, dia seperti sedang bahagia. Aku cukup senang dengan itu.

"Soalnya rumit-rumit," kataku yang memang agak kesusahan mengerjakan ini.

"Iya, Ibu juga ada yang bingung," ujarnya.

"Aku mau ambil buku matematika lain ya Bu, sepertinya ada yang membahas soal nomor enam ini," kataku yang kemudian izin keluar ruangan.

Aku mencari buku di bagian rak untuk matematika. Aku pernah ingat ada buku aljabar yang sangat lengkap. Buku kalkulus terbitan yang sama juga sepertinya aku perlu. Di mana ya? Semoga sedang tidak dipinjam orang.

"Hei," bisik seseorang.

Aku menoleh ke belakang. Darma berdiri di belakangku dan tersenyum. Aku menelan ludah karena mengingat kejadian kemarin saat aku melihatnya menolak Sari. Apa dia ingin mengatakan kalau dia melihatku kemarin? Tiba-tiba aku agak gugup.

"Kita perlu bicara," kata dia. "Membahas kasusmu."

Untunglah, dia tidak membahas hal kemarin. "Untuk sekarang tidak bisa, aku sedang ada bimbingan."

"Bisa saya telepon nanti siang?" tanyanya.

"Bisa," jawabku.

Dia kemudian pamit pergi.

Aku pun kembali mencari buku. Namun, suara seseorang yang terbatuk-batuk membuatku berhenti. Sepertinya, suara itu berasal dari seseorang di balik rak buku di depanku. Aku pun mengintip. Itu Hani. Dia sedang berlutut di lantai, satu tangan memegangi mulutnya, satu tangan lagi menumpu ke lantai.

Seperti yang kulihat sebelumnya, dia berdarah. Darahnya lebih banyak dari sebelumnya. Saat tangan kanannya ia turunkan dari mulut, aku melihat darah di telapak tangannya yang sampai menetes ke lantai.

Tidak ada orang lain di sini karena dia berada di ujung perpustakaan. Tidak ada yang melihat kami. Hanya ada aku yang berada di samping rak buku dan Hani yang masih terbatuk-batuk. Dia masih menunduk dengan rambut panjang kumalnya tergerai hingga ujungnya menyentuh lantai.

Aku ingin membantunya. Namun, aku tidak berani. Melihat darah yang begitu kental itu mengingatkanku pada malam itu. Saat rambutku dicukur oleh makhluk itu, darah memuncrat dari rambutku, lalu menetes. Sosok itu mengambil darahku dengan tangannya. Setelah darah berhenti menetes, seluruh rambut yang membelengguku perlahan lepas, dan dia pergi. Bagaimana seorang Hani mengingatkanku pada sosok itu? Apakah Hani adalah jelmaan sosok itu? Aku menggeleng karena pemikiran bodohku.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Menurut kalian, siapa sebenarnya Hani?

3. Apa pendapat kalian tentang  sifat-sifat karakter di cerita ini?

Siapa yang pengin lanjut? Comment: Ah she up!

Hadiah permainan di Bagian 28: Terkutuk menjadi samyang

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Hadiah permainan di Bagian 28: Terkutuk menjadi samyang.

Dedarah 「END」Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt