Pirang Albino Abran

Mulai dari awal
                                    

Setelah mengatakan kata-kata tak terindahkan itu Reina menyeret kakinya keluar dari sarang pirang albino brengsek Abran. Ugh, dia tak yakin kalau tadi dia berbicara dengan lancar tanpa ada kesalahan dalam setiap kata yang ditekannya.

*

*

*


Dibelahan dunia ini ada beberapa hal yang memang sudah mendarah daging, contohnya saja di Indonesia, jika di sana masih ada status kasta, maka di London ini masih berlaku status darah, yaitu darah biru keturunan bangsawan dan darah biasa bagi mereka yang sama sekali tak memiliki garis keturunan kerajaan.

Daviss menggeram seraya menjungkir balikkan meja dan kursi yang ada di kamarnya. "Sial, berani sekali gadis lumpur sepertinya mengancamku!"

"Dan seingatku, kau hanya diam saja mendengar ceramahnya tadi." timpal Theo sahabat karib Daviss sedari masa taman kanak-kanak dulu.

Pria pucat dengan surai pirang itu mendengus kesal, ia melemparkan tatapan membunuh pada sahabatnya itu. "Lihat saja, akan ku bungkam mulut bar bar si darah lumpur itu nanti,"

"Dav, Dav, aku tak mengerti jalan pikiranmu. Kau biarkan dia saja okay? Dia sama sekali tak mengusikmu kan? Ah justru kau yang selalu mengusiknya selama 3 tahun ini? Apa masalahnya jika kalangan biasa sepertinya masuk sekolah setara dengan kalangan bangsawan seperti kita? Atau... kau memiliki perasaan tersembunyi padanya?"

CRANG!!! Gelas yang digenggam Daviss meluruh saat bibir lincah Theo mengoceh dan apa dia bilang? Memiliki perasaan tersembunyi pada gadis lumpur itu? Hell, yang benar saja! Sampai semua jenis roda bundar berubah jadi kotak pun itu tak akan pernah terjadi.

"Kau tidak waras Huge," kesalnya dengan memanggil nama belakang keluarga Theo.

"Hanya prediksiku saja," kekeh Theo seraya mengendihkan bahu.

*

*

*

Lain Daviss lain juga dengan Reina, gadis berambut ikal ini sedang sibuk memilah baju yang kotor dan bersih, oh damn, terkutuk untuk si pirang albino Abran itu. Seharusnya hari minggu begini adalah waktu bersantainya, namun si pirang idiot itu malah membuatnya sibuk.

"Apa ini? Bukankah kau sudah mencuci baju-baju ini tiga hari yang lalu?"

Reina mendengus, "Ya, memang, dan si pirang brengsek itu baru saja menambah draft pekerjaanku di akhir pekan yang seharusnya menjadi hari tenangku."

Emily mengerutkan keningnya, "Lagi? Apa yang sudah dia lakukan dengan baju-bajumu?"

"Kau bisa lihat sendiri. Dia menaruh entah berapa ember lumpur ke dalam lokerku, dan sialnya baju-baju yang sudah kucuci belum sempat kupindahkan dari sana."

Emily memandang iba sahabatnya, "Oh shit, kurang kerjaan sekali si pirang itu."

"Dan yeah, dia berhasil membuatku menjadi orang paling sibuk dihari munggu begini." Kesal Reina seraya mengucek baju-bajunya yang sudah ia rendam beberapa kali dengan air bersih untuk menghilangkan lumpur membandel.

"Biar kubantu." Em lekas menggulung lengan bajunya keatas dan mulai mencelupkan tangannya ke dalam bak pakaian yang sudah direndam dengan detergen. "Aku tak mengerti dengan kalian berdua,"

"Maksudmu?"

"Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi sepertinya si pirang menyebalkan Abran itu mempunyai maksud lain dibalik sifat menyebalkannya itu."

"Oh tentu saja Em, dia itu sengaja sekali membuatku naik pitam, membuatku tak nyaman, karena dia ingin mendepakku dari sini secepat yang ia bisa."

"Bukan itu maksudku, bodoh!"

"Lalu?"

"Mungkin dia menyukaimu, karena terlalu gengsi jadi dia menarik perhatianmu dengan cara menyebalkan seperti itu."

Reina sukses menganga dibuatnya. Apa dia bilang? Daviss pirang albino busuk Abran menyukainya? "Jangan bercanda, Em. Itu sama mustahilnya dengan London di terpa badai pasir."

Emily mengangkat kedua bahunya, "Mungkin saja kan, there is no imposible in the world"

"Ya ya ya, terserah kau saja. Now, aku ingin menjemur pakaianku, kau mau membantuku atau tidak?"

"Yes, Ma'am... tapi setelah ini biarkan aku melihat essaymu yah, Reina."

"Gezzz..."

*

*

*


Great hall sudah ramai dihuni murid tingkat 1 sampai tingkat 7, mereka sedang melakukan ritual sarapan pagi sebelum beraktifitas. Reina mengambil tempat di meja paling pojok, tak membaur dengan yang lain, ia tak biasa makan satu meja dengan mereka.

"Sadar diri eh, Chryssan?" telinga Reina terlalu peka untuk mengetahui siapa pemilik suara laki-laki tadi.

"Seperti yang kau lihat, Mr. Abran." Jawabnya tak kalah sarkasme.

"Yeah, lumpur memang terlalu kontras jika disandingkan dengan berlian." Ejeknya seperti biasa, "Dan, wewangian yang kau pakai ini sejujurnya tak menutupi bau menyengat yang sudah mendarah daging pada tubuhmu."

"Tutup mulutmu brengsek dan jauh-jauh dari lumpur sepertiku!"

"Seperti aku mau saja dekat-dekat denganmu." Ujarnya seraya berlalu, tak lupa menyemprotkan parfum mahal miliknya ke seluruh tubuh.

Brengsek! Reina menggeram, tangannya terkepal, emosinya memuncak setiap kali mendengar cemohan dari bibir pirang albino itu. Tidak, sebelumnya Reina merasa dunianya baik-baik saja sampai ketika pirang itu memulai dengan mengatainya darah lumpur, sial, semua orang mulai memandangnya berbeda. Apa yang salah karena mempunyai orang tua seorang Dokter gigi? Hell, bahkan tidak semua orang yang menempuh pendidikan di sini adalah kalangan bangsawan maupun keturunan kerajaan, banyak dari mereka yang orang tuanya seorang dokter seperti ayahnya, dosen, anak profesor, tapi kenapa selalu dirinya saja yang di cemoh oleh Daviss? Ya, si brengsek itu adalah anak dari salah satu bangsawan berpengaruh di Britania Raya ini.

Reina segera membereskan buku-buku miliknya dan lekas pergi ke kelas, ia tak mau berlama-lama di great hall yang seperti neraka untuknya, terlebih dengan pandangan kemenangan dari Daviss busuk Abran.

*

DELET

or

TBC

*

A/n : maaf yah kalo misalkan alurnya mainstream dan yeah... ngga enak dibaca. Review, saran dan votenya aku tunggu.

Fated to Love You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang