CHAPTER 20

35.1K 1.2K 41
                                    

Sebelum membaca, mau ngasih tau kalo chapter ini pendek ya ngga panjang :) sekedar mengingatkan agar kalian ngga kecewa :v




Caroline menangis, tersedu menekuk kakinya di bawah pelukan selimut tebal yang sangat kentara dengan aroma seks yang memuakkan. Tubuh kecilnya bergetar hebat, kedua tangannya meremas selimut tersebut dan menggigitnya dengan pilu. Ia sangat marah pada dirinya sendiri, marah karena begitu lemahnya dipermainkan oleh si penguasa brengsek itu. Rasa lelah akibat menangis semalaman suntuk tak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa benci dan jijik akan dirinya sendiri. Ponselnya bergetar di suatu tempat, buru-buru ia mengusap air matanya dan bergegas mencari sumber getaran serta susulan nada dering panggilan, seraya mencengkram selimut di dadanya guna menutupi tubuhnya yang telanjang, Caroline menemukan ponselnya di bawah meja dekat dengan lemari pakaian, terlempar cukup jauh Ya Tuhan.

Cameron.

"halo?"

"Cara! Dimana saja kau?"

"aku-"

"ayahku sudah sadar. Dia bangun, Cara!" oh ya Tuhan, Mr. McDonough. "sekarang kau dimana? Aku akan menjemputmu." Dan aku langsung mengusap bersih air mataku menyisakan panas yang sangat mengganggu di sekitar mataku bahkan seluruh wajah. Oh Tuhan, berapa lama aku menangis? Tentu saja semalaman.

"aku akan ke rumah sakit. Kau tidak perlu menjemputku. Aku akan tiba dalam lima belas menit."

"baiklah. Aku menunggumu."

"baiklah."

"err, Cara!" dan aku mengurungkan niat untuk mematikan sambungan telepon kami. "berhati-hatilah. Kami menunggumu." Dan senyumku terangkat getir sehingga yang bisa kukeluarkan hanya air mata kering. "terimakasih, Cam."

***

"sial Janice! Bisakah kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk ke ruanganku, sialan! Aku ini atasanmu, demi Tuhan!" Zayn mengumpat keras saat wanita jalang itu menerobos ruangannya dengan sembrono, seperti sama sekali tidak mengerti sopan santun. Zayn sudah cukup dipusingkan oleh pekerjaan kantor yang seolah memburunya tiap jam. Ketika mengatakan itu Janice terlihat tak bergerak, Zayn mengangkat matanya dan melihat wajah wanita itu merah padam, teredam oleh amarah yang ia kenali selalu hinggap disana. Namun pria itu hanya berdecak dan kembali memfokuskan tatapan matanya pada setumpuk file di atas meja, mengapil pulpen berwarna abu-abu yang dalam sekejap pulpen itu jatuh ke lantai dengan suara khas karena dilempar oleh wanita yang berdiri marah di hadapan mejanya. What the fuck!

"apa yang kau lakukan?!" bentak Zayn beranjak berdiri, sama marahnya.

"seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu! Apa yang kau lakukan dengan membeli apartemen karyawan murahan itu!" kedua tangannya diletakkan di pinggang, berkesan sangat dramatis. Zayn menyipitkan matanya.

"pelankan suaramu!" desisnya melirik sekilas pada pintu dobel yang tertutup rapat, takut kejelasan dalam suara Janice dapat di dengar oleh siapapun di luar ruangannya.

"kau tidur dengannya lagi, kan? Kau memilih tidur dengannya disaat kau berjanji untuk datang ke tempatku! Dan kau-" telapak tangan pria itu membekap mulut Janice dengan keras, mulut wanita jalang ini bisa menjadi masalah besar. "pelankan suaramu, jalang sialan!" desisnya lagi, kali ini lebih dari sekedar marah. Janice tidak terganggu dengan pemilihan kata yang di gunakan Tuan Weston. "jalangmu." Kali ini suara Janice dipelankan dan Zayn melepaskan bekapannya dengan kesal.

"kau tahu bagaimana aku, Zayn. Harga diriku hilang entah kemana saat kita bersama. Aku memang jalang, tapi hanya untukmu. Aku rela melakukan apapun untukmu." Kini wanita itu menangis, ia memang benar, demi Zayn Weston ia rela menjadi apapun. Janice memang jalang, namun jalang milik Zayn, dan ironi itu tak pernah lepas dari pikirannya.

ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang