06: Forty Years Ago

3.5K 290 6
                                    

"Mitch..."

Dengan sigap, aku menopang tubuh Kirstie yang sangat lemas. Tulang serta ototnya seperti telah diambil begitu saja dari dalam tubuhnya. Ia tidak memiliki tenaga sama sekali.

Kuamati wajahnya dengan seksama. Matanya bengkak dan sembab, mukanya memerah, dan bibirnya kering serta pecah-pecah. Kirstie terlihat sangat berantakan sekali.

Semua orang yang hadir saat ini sedang dalam keadaan berduka. Kami baru saja kehilangan salah satu sahabat dan saudara kami, Mitch Grassi akibat suatu kecelakaan fatal di atas panggung yang langsung membuatnya meninggal di tempat.

Scott, sahabat dekat sekaligus mantan kekasih Mitch lebih kacau daripada Kirstie. Ia tidak bisa berhenti menangis dan terus-terusan memanggil nama mantan kekasihnya itu.

Kevin menangis dalam hening, ia berusaha untuk menenangkan Scott. Begitu juga dengan teman kami, Jack Updegraff.

Cukup banyak orang yang hadir di sini. Teman-teman dari Mitch serta mantan tunangannya, Travis Bush. Pria itu sangat terkejut ketika Scott memberi tahunya kalau Mitch sudah pergi.

Isak tangis mengiringi kepergian Mitch. Mereka semua tidak menyangka kalau pemuda yang baik hati itu akan pergi secepat ini.

"Mitch," bisik Scott dengan lirih. Tenaganya sudah terkuras habis setelah ia menjerit histeris seperti orang kesetanan tadi. Ia berlutut di samping batu nisan mantan kekasihnya. Tangannya terulur untuk mengusap benda itu.

"Kev, tolong bawa Kirstie ke mobil," pintaku kepada sahabat terdekatku, Kevin. Ia mengangguk dan membawa Kirstie ke dalam mobil. Esther masih sibuk menenangkan Scott.

Aku hanya berdiri di situ sampai orang-orang yang hadir mulai meninggalkan tempat pemakaman ini. Termasuk Esther dan Scott.

Ketika semua orang sudah meninggalkan aku sendirian di tempat pemakaman ini, aku mengambil ponselku dan menelepon seseorang.

Tak lama kemudian, sebuah mobil van berhenti tak jauh dari tempat aku berdiri. Beberapa pria keluar dari mobil itu. "Sir, apa yang harus kami lakukan?" tanya salah satu dari mereka.

"Bongkar kuburannya, dan ambil sample selnya."

Pria tadi mengangguk patuh dan menyuruh anak buahnya untuk melakukan apa yang kuperintahkan.

"Maafkan aku, Mitch," gumamku.

Aku melihat mereka mulai menggali gundukan tanah itu dengan sekop, lalu mengangkat peti mati yang terkubur di dalamnya. Sebuah peti mati berwarna hitam.

Mereka pun membuka peti mati itu dan dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat temanku, Mitch berbaring di dalamnya dalam keadaan tak bernyawa.

Kondisinya sungguh mengerikan. Wajahnya penuh luka, sampai-sampai aku tidak mengenalinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. "Cepat ambil selnya, aku tidak mau orang lain melihatnya."

Beberapa dari mereka kembali ke mobil van mereka dan kembali dengan sebuah tas perkakas di tangan mereka.

Mereka mulai bekerja. Diambilnya sepasang sarung tangan, sebuah jarum suntik, pisau bedah dan sebuah tabung kecil dari dalam tas itu. Saat mereka ingin mengambil contoh sel dari tubuh temanku itu, aku mencegah mereka.

"Tunggu!" Mereka langsung menoleh. "Biarkan aku yang melakukannya."

Aku meraih jarum suntik, pisau bedah, serta tabung itu dari mereka, dan kukenakan sarung tangan tersebut.

Setelah merasa semuanya sudah siap, aku berlutut di samping peti mati itu. "I'm really sorry, Mitch."

Aku mulai menyayat kulit lengan kirinya, sampai daging serta tulangnya terlihat. Hidungku langsung mencium bau yang sangat tidak sedap.

Aku segera melakukannya dengan cekatan. Selain tak tahan dengan bau busuk yang dikeluarkan dari tubuhnya, aku juga tidak mau orang lain mengetahuinya.

Akhirnya, setelah memakan waktu sekitar lima menit, aku mendapatkan sebuah sample sel dari tangan Mitch. Kumasukkan sel itu ke dalam tabung. Lalu, kuperintahkan orang-orang suruhanku untuk menguburkan Mitch kembali.

Akhirnya, semuanya beres.

"Bawa ke laboratorium," kataku sambil menyerahkan tabung kecil itu kepada pria tadi. Ia mengangguk, dan mereka langsung meninggalkan tempat pemakaman itu.

Aku mengamati kuburan Mitch. Terlihat sangat persis dengan sebelumnya. Seperti tidak ada orang yang menyentuhnya sama sekali.

"Selamat tinggal, Mitch."

Aku langsung tersadar dari lamunanku tentang kejadian yang terjadi empat puluh tahun yang lalu. Kejadian itu seperti mimpi buruk bagiku.

Lalu, kudongakkan kepalaku dan kudapati seseorang berdiri di pintu masuk ruanganku. Seorang pemuda berambut cokelat tua yang memiliki sepasang mata berwarna hazel yang sangat indah.

Aku mengenalnya dengan baik. Ia adalah Mitch Grassi.[]

The EartheniansWhere stories live. Discover now