"Assalamu'alaikum," ujar Nadine dan Rena bersamaan. Nadine buru-buru menghampiri tiga laki-laki yang sudah bersantai di sofa ruang tamu Rena dan ikut menjatuhkan tubuhnya di samping Dani.
"Ih, ngapain lo, Nad." Samudra bangkit dari duduknya, menarik tangan Nadine untuk bergeser dari Dani. Nadine buru-buru menepis tangan Samudra dan mencibir sebal. "Apaan sih, gue capek."
"Yang bawa motor Rena juga, duduk doang apa capeknya," ketus Samudra memperhatikan lutut Nadine yang saling bersentuhan dengan lutut Dani. "Ih, lutut lo kenapa," pekik Samudra saat melihat lutut Nadine terdapat goresan-goresan kecil berwarna merah.
Nadine ikut bangkit dari duduknya, menatap lututnya yang tak tertutup roknya. Pekikan Samudra ternyata menarik perhatian Dani dan David yang tengah bersantai pada sofa Rena. "Ih, pantesan perih-perih gitu," Nadine mengusap lututnya dengan tangan.
Belum sempat, Samudra buru-buru menepisnya. "Tangan lo berdebu, tau."
Nadine mencibir, membuat David mengkerutkan keningnya memperhatikan interaksi Samudra dan Nadine. Menatap sekeliling ruang tamu, mencari Rena yang ternyata sedang pergi ke kamarnya untuk mengambil laptop.
Tak lama, Rena kembali. Masih menggunakan seragam sekolah, namun kini tangannya menenteng sebuah laptop dan buku paket Sejarah Indonesia. "Kenapa Nad, kaki lo lecet juga?" Nadine mengadah menatap Rena, kemudian ia menganggukan kepalanya.
"Lo juga? Ini kenapa ya." David memperhatikan letak goresan merah pada lutut Nadine, dan beralih pada lutut Rena yang sudah diolesi obat merah. Letaknya sama.
"Kayaknya yang tadi kita nyerempet pohon-pohon mawar itu deh," jawab Rena diiringi tawa renyahnya. Nadine jadi ingat sendiri saat ada sebuah motor yang melaju berlawanan arah, membuat Rena membelokan stang motornya lebih kepinggir, dan sialnya terdapat pohon mawar yang cukup banyak, mebuat lutut keduanya tergores duri-duri di batang mawar.
"Mana betadinenya, Ren?" Rena menyodorkannya pada Samudra, kemudian Samudra siap memakaikannya pada luka Nadine, jika saja Nadine tak mengelak.
"Gue bisa sendiri. Nggak usah sok perhatian," ketus Nadine dan langsung merampas botol kecil obat merah itu.
"Yaelah, diperhatiin salah, diajak ribut salah. Ribet lo."
"Udah, sambil mulai, yuk." Samudra ikutan duduk dibawah, disisi Rena, disusul Dani dan juga David. Nadine masih sibuk dengan lututnya sendiri.
David sibuk searching menggunakan ponselnya, Dani dan Nadine sibuk dengan buku paket, Rena sibuk dengan laptopnya, sedangkan Samudra sibuk pada keripik singkong yang disediakan Mama Rena.
"Samudra, lo nggak guna, deh." David mengangkat kepalanya, menatap Nadine dan Samudra yang duduk disisinya. Namun pandangannya beralih pada Rena dan Dani yang saling diam padahal duduk bersebelahan.
"Guys, tenang deh." David menarik kepala Samudra dan Nadine untuk mendekati kepalanya. "Perhatiin Rena dan Dani, deh, kira-kira mereka kenapa sih jadi diem-dieman gitu?"
Nadine berdecak kesal dan langsung memukul kepala David. "Itu kan karena lo. Coba aja lo nggak nyuruh mereka putus, mereka nggak akan diem-dieman begini."
"Tapi kalau mereka nggak putus, dan tetap pacaran. Kemudian tiba-tiba putus, mereka bakal diem-dieman juga," sela Samudra tak terima sahabat karibnya diomeli Nadine.
"Ya terus apa bedanya sama yang sekarang, Dodol."
"Gue nanya pendapat, malah pada ribut."
"Menurut kalian, tindakan gue ini salah nggak sih?"
"Enggak kok,"
"Salah lah," jawab Samudra dan Nadine berbarengan. David malah memejamkan matanya sambil menggelengkan kepalanya bingung. Niat meminta pendapat malah dikasih beginian.
"Aish, jam berapa ini?" tanya Samudra dengan volume suara yang dikencangkan. Tangannya mengacak-acak tasnya dan mencari ponselnya.
"Jam berapa, Dra?" tanya Nadine sambil menatap Samudra geli.
"Jam setengah dua, pantesan perut gue sakit." Nadine terkikik melihat kelakuan Samudra. Laki-laki ini, selalu saja punya akal.
"Laper beli sendiri sana, tadi kan udah nunjuk, Sam, mau makan apaan." Samudra terkekeh geli, melihat Rena yang kini menatap Samudra dengan kedua alis saling menyatu dipangkal hidungnya.
"Mau jalan sendiri atau gue minta tolong sama abang gue, nih?" tanya Rena sambil meletakan laptopnya di atas meja dan siap bangkit dari duduknya.
"Nggak usah," jawab Dani cepat membuat Rena ikut menoleh pada Dani. Dani sendiri terlihat kikuk kemudian menghela napas panjang.
"Disuruh untuk keperluannya sendiri aja galak, apalagi cuma buat Samudra doang." Samudra mendelik pada Dani. Dani hanya tersenyum kecil, berusaha menutupi kespontanannya tadi.
"Abangnya Rena galak, lo bisa ditandain dan nggak boleh kesini lagi, Sam." Samudra jadi menyerit bingung dan menatap Rena dengan tatapan meminta persetujuan dengan ucapan Dani barusan.
"Yaudah, gue jalan sendiri aja deh."
"Gue nasi sama rendang, ya, tapi polos." Nadine merogoh kantung bajunya dan menyodorkan dua puluh ribuan pada Samudra.
"Gue ayam bakar deh, biasa aja, komplit."
"Sama kayak David, deh." Rena dan Dani saling tatap, saat keduanya tak sengaja mengucapkan kalimat yang sama dan dengan waktu yang bersamaan juga.
"Lo rendang doang, nggak pake bumbunya?" Samudra kembali menoleh pada Nadine.
"Pake. Maksud gue nggak pakai kuah-kuahnya," jawab Nadine cepat.
"Daun singkong?"
"Enggak juga," jawab Nadine lagi, membuat Samudra menggeram kesal.
"Lo ikut aja, deh, ribet amat." Nadine berdecak namun ikut bangun dan berjalan keluar bersama Samudra.
"Mau berduaan aja, sok berantem dulu." David, Dani, dan Rena saling terkikik geli dan kembali pada pekerjaannya masing-masing.
Jarak rumah Rena dan rumah nasi padang tidak terlalu jauh, hanya menempuh sekitar 5 menit saja dengan motor. Kini keduanya sedang mengantre. Nadine sibuk dengan ponselnya, membaca rentetan tweet pada timeline twitternya.
Namun pandangannya beralih pada notifikasi bbm yang tiba-tiba hadir. Mama. Pandangannya memanas. Dibukanya notifikasi tersebut, menampilkan sebuah chat dari orang tua yang tinggal bersamanya saat ini. Satu-satunya orang yang menjadi sandarannya, setelah Ayahnya meninggalkannya dulu, sebelum Nadine sempat memanggilnya Ayah.
"Nad," sapa Samudra saat melihat Nadine yang kaku disampingnya, menatap ponselnya tanpa berkedip.
"Nyokap gue," lirih Nadine sambil menyodorkan ponselnya pada Samudra. Samudra meneguk ludahnya sendiri dan menatap Nadine dengan khawatir.
"Nanti kita bahas, Nad. Jangan nangis sekarang. Nanti David dan yang lain curiga," Nadine menundukan kepalanya, membiarkan bahu Samudra menahan bobot tubuhnya yang melemas.
"Gue nggak mau," lirih Nadine sekali lagi. Samudra mengangguk paham dengan apa yang dirasakan Nadine saat ini. Bukan, bukan hanya Nadine yang merasakan ini. Dalam hati, ia juga tahu bahwa dirinya sendiri hancur menerima kenyataan ini.
"Mama milih gaun juga untuk gue," ujar Nadine sekali lagi dengan nada lirih. Samudra memejamkan matanya sebentar, dan tangan kanannya terangkat mengusap kepala Nadine.
"Nanti kita bicarain lagi." Nadine hanya mengangguk mendengar perkataan Samudra. Bangkit dari posisi sebelumnya. Menarik napas panjang dan siap menjadi Nadine yang hobi adu mulut dengan Samudra.
"Buruan. Gue cuma rendang sama bumbunya. Nggak pakai kuah, nggak pakai daun singkong. Gue tunggu di depan." Nadine langsung berjalan meninggalkan Samudra, membuat laki-laki itu berdecak dan mencibir mengikuti gaya bicara Nadine.
***
June, 13th 201
VOCÊ ESTÁ LENDO
The Problems Of Classmates
Ficção Adolescente[Completed and Extra Part was ready] "Dilarang berpacaran dan bermusuhan dengan teman sekelas." - David, Ketua Kelas XI MIA 1. Peraturan yang ia buat dengan keyakinan mantap selama 7 hari 7 malam itu, membut kelasnya terlihat lebih baik. Mereka te...
