TPOC - Satu

9.1K 598 50
                                        

David memperhatikan Dani dengan saksama. Laki-laki itu dengan santai memainkan ponselnya tanpa mempedulikan sekelilingnya. Laki-laki ini memang cenderung tertutup, berbeda dengan teman-teman sekelas lainnya, yang baru 2 bulan ini sudah seperti kenal 2 tahun, Dani malah memilih berbicara seperlunya saja.

Tetapi, saat David bertanya pada Aldo, teman sekelas Dani saat kelas sepuluh, Aldo bilang bahwa Dani adalah orang yang ramah dan sangat ramai. Kini David bisa mengambil sebuah kesimpulan lagi. Dani menjadi pendiam di kelas, karena peraturan dari David?

"Dani," panggil David membuat Dani mengalihkan sebentar tatapannya dari ponsel, namun tak berniat menoleh ke belakang menghadap David.

Tak mendapatkan sahutan dari David lagi, Dani memutuskan untuk kembali menatap ponselnya lagi. Dan kini yang David lakukan adalah menghampiri Dani dan duduk dihadapannya.

"Tugas kimia lo, udah?" tanya David dengan kedua alis terangkat, seolah memberikan surat perdamaian.

"Nggak usah basa-basi, mau nyontek atau mau apa?"

"Mau nyontek dan mau apa, Dan. Gue mau ngobrol-ngobrol sama lo," kata David membuat Dani mengkerutkan keningnya bingung.

"Kok gue kayak dengar pasangan homo, sih?" teriak Rama yang baru saja memasuki kelas. Sebelum laki-laki berjambul itu melewati David, David buru-buru menepuk kepala Rama dengan kencang. "Jangan bikin gosip, lo."

"Buruan deh," perintah Dani membuat David kembali fokus pada Dani yang kini sudah memasukan ponselnya ke dalam saku celananya.

"Soal Rena..."

"Sudah sesuai dengan apa yang lo mau," jawab Dani cepat, tak mengizinkan David untuk mengucapkan sepatah kata lagi. David terlihat mengulas senyumnya.

"Lo masih ma uterus-terusan musuhin gue?" tanya David lagi. Kini Danilah yang tersenyum kecil, "kasih tahu gue keuntungannya dari musuhin lo itu apa," jawab Dani membuat David mengulaskan senyumnya dengan lebih lebar lagi.

"Gue percaya, peraturan yang lo buat ini pasti demi kesolidaritasan kita, meskipun gue tetap sayang sama Rena, insyaallah kelas 12 kita nggak sekelas lagi," lanjut Dani membuat David berteriak tak suka.

"Janganlah, kita harus sekelas lagi, gue udah klop sama yang ini," jawab David. Meski baru hampir 2 bulan, David merasa bahwa teman-temannya di kelas yang ini sangat bisa diandalkan dan mudah diatur.

"Ya, terus gue pacaran sama Renanya kapan?" Dani melengos kesal.

"Nanti aja pas lulus," jawab David seenaknya membuat Dani memukul kepala David. "Kalau Renanya masih demen sama gue, kalau dapet cowok yang lebih-lebih dari gue gimana," cibir Dani membuat David tertawa. Ya, yang seperti inilah yang Aldo maksud dengan Dani yang dulu. Dani yang ramai dan banyak bicara.

"Lo mah enak pacarnya anak kelas sebelas, coba gitu ya, anak kelas sebelah bikin peraturan nggak boleh pacaran sama anak sekolah sini juga. Mampus lo jomblo." David bergidik sebal.

"Jomblo ngajak-ngajak amat sih, Mas. Gue masih langgeng sama Alisa," jawab David membuat Dani mencibirkan bibirnya.

Pandangannya beralih pada pintu masuk saat mendengar ucapan salam. Pagi ini rasanya terlalu santai dihadapi David, tanpa sadar kelas sudah hampir penuh, dan kini pandangannya jatuh pada Rena yang baru masuk.

"Kok auranya Rena jadi beda, ya, tambah cakep gitu,"

"David! Gue aduin Alisa, nih," teriak Dani membuat Rena dan yang lain sontak menoleh padanya.

"Yeh, santai aja kali."

"Meskipun gue emang pernah suka sama Rena, gue nggak akan ninggalin Alisa kok," kata David membuat Dani menggelengkan kepalanya bingung dengan maksud pembicaraan

"Paling jadiin Rena yang kedua," bisik David membuat Dani menjewer telinga David yang kebetulan paling mudah dijangkau, membuat David meringis sambil berteriak minta dilepaskan.

"Sejak kapan sih kalian jadi dekat gini," tanya Aldo yang baru saja datang. Dani sontak melepaskan jewerannya pada David.

'Kalian ada something, ya?"

David tak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan yang tertangkap telinganya. Ia bangkit dari duduknya, bertolak pinggang dihadapan Dani dan menatap Dani dengan tajam. "Gue aduin Rena, lho."

"Kok jadi Rena, sih, Vid?"

***

Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya, David mengeluarkan motor gedenya, dan berjalan menelusuri jalanan Jakarta yang sudah sangat terlihat padat. Sembari menunggu macet, matanya melirik jam tangan di tangan kanannya. Setengah tujuh. Kenapa udah ramai, ya?

Namun kini, pandangannya beralih pada motor-motor di sisinya, ada yang merupakan anak sekolah sepertinya, ada sepasang orang dewasa di atas motor sambil bertukar cerita, ada juga seorang ayah yang tengah memboncengi anaknya yang berseragam putih merah.

Pandangan pagi ini, membuat David kembali memutar kejadian-kejadian lamanya, pikirannya berkelana pada masa kecilnya yang sangat teratur.

Setiap pagi, ia akan menyaksikan Mama dan Papanya berangkat ke kantor bersamaan, kemudian menyaksikan Kakaknya yang kadang ikut berangkat bersama orang tuanya, terkadang diantar oleh supir keluarganya. Kemudian setelah rumah sepi, ia akan merecoki Bibinya yang sedang merapikan rumah. Kemudian, ia akan dibawa ke supermarket oleh Bibinya.

Semua sangat nyaman bagi David, dulu saat semua bebannya ditanggung oleh orang tua. Saat dia mulai memasuki sekolah dasar. Orang tua maupun Bibinya tak ada yang berniat membantu pekerjaan rumahnya. Hanya menjelaskan caranya, dan memaksa David untuk berpikir sendirian. Hanya kakaknya lah yang bersedia membantunya.

Kemudian, saat mulai memasuki sekolah menengah pertama, ia mulai mandiri, mengikuti perkembangan teknologi, ia mencoba mencari-cari materi pada internet dan belajar sendiri. Perkembangan David jauh lebih baik daripada Kakaknya. Ia tak membutuhkan guru les, ia bisa belajar sendiri. Dan ia membuktikan itu pada orang tuanya.

Dan kini, saat ia masuk sekolah menengah atas, ia benar-benar pusing masalah cinta. Saat kelas sepuluh, ia seolah buta pada cinta, ia benar-benar kehilangan jam belajarnya. Kekasihnya yang dulu sangat menuntut. Setelah putus, David bertemu dengan Alisa yang lebih bisa mengimbanginya.

Dan saat ini, ia harus terus belajar mengatur hidupnya, merancanakan kehidupan dimasa depannya. Ia harus bisa sukses bersama Alisa. Perempuan yang sangat ia cintai itu harus bisa merasakan kesuksesannya.

David menghentikan laju motornya, turun dari motor dan memarkirkan motornya di depan pagar yang setinggi kepalanya. "Assalamu'alaikum," salam David dan dijawab teriakan salam dari dalam.

Senyumnya mengembang. Kekasihnya kenapa selalu menggemaskan. David bergerak membuka pagar rumah Alisa dan melongok ke dalam, mendapati Alisa yang juga melongok. "Masuk aja, orang tuaku udah jalan, nih. Aku ngabisin susu dulu." Dan setelah itu, sosok Alisa sudah menghilang dari pandangannya.

David duduk di teras rumah Alisa, memperhatikan sepasang sepatu juga sepasang kaos kaki yang sudah nangkring dihadapannya dan siap dipakai oleh sang empunya.

"Maaf lama," Alisa muncul sambil tangannya memegang sehelai roti dengan selai cokelat ditangannya. Ia duduk dibawah, mengenakan sepatu dan rotinya ia biarkan terjepit disela-sela giginya.

"Makan aja dulu, Lis, baru setengah tujuh." David memperhatikan Alisa yang menggelengkan kepalanya.

"Ini kan hari Kamis, Vid, jadwal kamu piket." David terkekeh mendengar perkataan Alisa. Gadisnya ini selalu saja perhatian. Ia bangkit dari duduknya, masih dengan mulut menjepit roti, ia merapihkan roknya.

Diambilnya roti itu, dan menatap David dengan senyum mengembang. "Yuk."

*****

June, 9th 2016.

The Problems Of ClassmatesDonde viven las historias. Descúbrelo ahora