Longass Prolog

Mulai dari awal
                                    

"No..." bisikku. Mataku melebar, melihat sekeliling aku baru saja menyadari kita berada di sebuah pemakaman. Banyak orang berbaju hitam di sekeliling kami. Tapi lebih banyak lagi yang sudah pergi ke arah pelataran tempat parkir mobil untuk pergi meninggalkan pemakaman, sebagian kecil yang terdiri dari kerabat dekat dan keluarga masih mengelilingi 2 peti mati, dengan beberapa karangan bunga di sekitarnya. Aku heran dengan pemandangan ini. Siapa yang mati? Kulihat 2 peti mati yang terletak agak jauh. Bisa kulihat wajah Bagas dari peti kaca, dan peti mati dihadapanku menampakkan wajah Bagas. "Bagas...? Dan Nora...? Apa yang terjadi dengan mereka?" bisikku pada Tina di sebelahku.

"Mereka meninggal. Kecelakaan." jawab Tina di tengah isakannya.

"Tidak..." ini tidak mungkin. Bagaimana bisa? Kapan? Aku berdiri, sedikit limbung saat menyadari kakiku kesemutan, dan goyah. Sudah berapa lama aku duduk di sini? Kemarin ia masih berhubungan dengan Bagas dan Nora. Mereka mengatakan akan mengunjungiku dan membahas sesuatu hal yang penting. Tapi aku tak bisa mengingat hal apa itu.

"Benar, mereka mengalami kecelakaan setelah meninggalkan rumahmu." bisik Tina pelan di sampingku.

"No..." aku beranjak pergi, menjauh dari Tina, menjauh dari 2 peti mati di hadapanku, menjauh dari kenyataan menyakitkan yang baru kusadari dan menghantamku dengan begitu rupa. Pandanganku mulai berkabut saat kurasakan air mata mulai menuruni pipiku, lebih hangat daripada hujan yang membasahiku. Aku terus menjauh, akhirnya aku berlari, terus berlari, tanpa tahu kemana tujuanku, kuabaikan teriakan Tina, juga pekikan orang-orang yang kuterjang. Aku bahkan juga mengabaikan teriakan Al, adikku yang berdiri menunggu di samping mobilnya.

"Val, aku dan Bagas akan ke rumahmu. Kita harus bicara." suaraNora terdengar tegang dan serius.

"Ada apa, Nou? Aku masih di kantor. Ada rapat direksi yang entah kapan akan selesai." aku melirik Pak Edwin dan memutar bola mataku. Ia menundukkan wajahnya tampak malu. Mungkin ia merasa tak berdaya sekaligus merasa bersalah karena harus menahanku di dalam rapat membosankan yang entah sampai kapan akan berlangsung.

"Aku akan dirumah menunggumu." suaranya masih terdengar tegang dan serius.

Demi apa ia harus bertingkah seperti itu?

Aku masih berlari kencang, aku sudah hampir mencapai sisi luar area pemakaman sekarang. Lirikan orang-orang yang kulewati dan teriakan dari orang-orang yang berusaha mengejarku kalah oleh deru hujan dan denyutan menyakitkan di kepalaku.

Mereka tak akan sanggup menjajariku, mereka bahkan tak akan sanggup menyamai kecepatan lariku. Karena aku pelari yang cukup cepat. Tentu saja. Karena aku selalu berlari. Aku selalu berlari.

"Nou?" bisikku di telinganya. Ia hanya bergumam dan mengeratkan pelukkannya dipinggangku. Wajahnya semakin menempel di leherku. Aku bersumpah bisa merasakan lidahnya di leherku sesekali. Bahkan juga giginya.

"Nou, lepaskan. Aku harus ke toilet." bisikku lagi.

"Tidak mau!!" Ia semakin mengeratkan pelukan lengannya. Kini aku agak sulit bernafas karenanya.

"Nou, aku sudah tidak tahan lagi. Kau harus melepaskanku atau akan kukencingi kau!" ancamku. Berhasil! Ia segera melepaskan pelukannya. Bahkan mendorong-dorongku agar segera menjauh darinya.

"Hubungan kita tak sedekat itu hingga aku rela mengotori diriku sendiri untukmu." Nora bersedekap dan duduk tegap menghadap TV. Aku terkekeh melihat tingkahnya, ditambah sekarang ia mengerucutkan bibirnya yang terlihat penuh dan ranum itu. Bagas yang duduk di beanbag singasanaku ikut terkekeh. Well, biasanya aku tak akan membiarkan siapapun mendudukinya, tapi karena ada Nora, dan ia tak akan pernah mau jauh dariku jika aku dalam jangkauannya, maka aku merelakan beanbag yang besar dan nyaman itu untuknya, sedangkan aku dan Nora duduk di sofa besar tepat di depan TV.

VALERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang